Posting Terbaru

Mengenang Peristiwa yang Saya Alami di Desember Bertahun Lalu

Gambar
Saya pernah dibuli dengan hebat di Desember 2019, karena saat itu saya mempertanyakan kenapa setiap saya masuk mall, mendadak suaranya dikeraskan. Saat itu kebetulan natal, dan saya dianggap mengeluhkan lagu Natalnya, dan bukan suara yang dikeraskan. Dan karena saya berhijab, dinegara dimana orang berhijab seringkali dituduh sebagai intoleran oleh para Islamophobic, maka saya langsung difitnah besar besaran. Sungguh lucu di negara yang katanya penganut muslim terbesar, tapi seorang muslim tidak bisa sama sekali bersuara. Bahkan saat dilecehkan oleh operator. Kata rasis dan Islamophobic seperti Kadrun, bertebaran menghina hijab saya. Bahkan sampai sekarang banyak artikel penulis murahan, yang isinya menguliahi saya dengan penjelasan yang tidak masuk akal mengenai keluhan saya. Padahal penjelasannya sederhana saja, yang di cuitkan oleh satu netizen yang saya rephrase :  "Ada kode khusus dikalangan retail shop/mall, jika ada kejadian tertentu, seperti ada pengunjung yang diduga akan

Media Sosial Merusak Citra Hijabers

Pixabay : silhouette-woman-hijab-sunset
Pixabay : silhouette-woman-hijab-sunset

Baru-baru ini  saya melihat sebuah posting viral di twitter, yang menunjukkan video dimana beberapa petugas security sedang mengawasi seorang gadis di dalam sebuah gerai di Mall. Lalu sambil tertawa-tawa salah seorang security menyuruh temannya yang sedang memegang mouse untuk menzoom seorang gadis sampai terlihat belahan dadanya.

Ini mengingatkan saya akan kejadian akhir tahun lalu, dimana saya didoxing habis-habisan setelah saya memprotes suara lagu yang diperkeras secara mendadak saat saya memasuki gerai tertentu dalam Mall. Kebetulan saat itu sedang Natal.

Tidak kurang seorang pendukung terbesar Jokowi yang berinisial DS memimpin posting pertama dalam mempermalukan pernyataan saya, yang kemudian diikuti oleh banyak akun-akun ‘toleran’ termasuk satu akun penulis wanita yang saya kagumi. Mereka mendoxing saya dengan alasan saya intoleran, karena berani memprotes lagu Natal.Rizahariati

Yang tidak mereka pedulikan adalah kenyataan bahwa, saya juga melakukan protes yang sama terhadap lagu-lagu islami dan suara mengaji yang diperkeras, juga saat saya memasuki suatu gerai di Mall.  Tapi tidak ada yang memprotes atau menghujat saya saat itu. Biasa saja.

Saat saya menyangkal dan mengatakan bahwa volume yang diperkeraslah yang membuat saya protes, mereka menghina saya dengan mengatakan :”Mall sebesar itu? Mana mungkin mereka bisa mengawasi satu orang dari begitu ramainya pengunjung?”

Ribuan retweet, bahkan mungkin puluhan ribu dan komentar diberbagai akun media sosial saya, Facebook, Instagram dan Twitter yang menghujat saya.

Doxing terhadap saya yang begitu sistematis ini berlangsung bahkan sampai sekarang, hingga jika anda meng-google nama saya, maka akan keluar setidaknya tiga artikel yang intinya menyangkal pernyataan saya, mengatakan saya bodoh, dan (terutama) intoleran.

Saya, yang bukan siapa-siapa, dibuatkan artikel! Jika ada calon klien atau employer yang menggoogle nama saya, maka mereka akan mundur teratur. Ini bukan sekedar doxing, mereka ingin menghancurkan masa depan saya sekalian.

Kenyataan bahwa tiga artikel ini berada dalam puncak search dalam waktu singkat, saya menduga keras bahwa ada orang berduit yang membayar agar bisa segera dipush. Karena saya punya banyak artikel di Kompasiana dan blog pribadi saya, yang bahkan sama sekali tidak keluar dalam search.

Saya tahu bahwa saya tidak berbohong, saya punya sensitivitas cukup kuat terhadap musik, jadi saya tahu telinga saya tidak salah. 

Saya malas meladeni dan menutup masalah ini. Tapi dari waktu kewaktu saya tetap menemukan posting yang berkaitan dengan kejadian diatas. Sampai saat saya menemukan satu reply yang jujur dari seorang yang sepertinya punya pengalaman bekerja di bidang retail. Rizahariati

Dia mengatakan : ”Ada kode khusus di kalangan retail shop atau mall jika ada kejadian tertentu. Misal mengencangkan musik atau memutar lagu khusus pada saat ada pencuri atau pengunjung yang diduga akan mencuri. Hal ini dimaksudkan agar staff dan sekuriti bersiap & memantau gerak gerik orang tersebut.”

Jadi saya BENAR!! Suara musik MEMANG diperkeras, karena dianggap akan MENCURI!! Berkali-kali. Dibanyak tempat.

Lalu kejadian dalam video diatas menegaskan lagi kebenaran protes saya, bahwa mereka benar bisa mengawasi, tidak hanya orang sebesar saya. Mereka bahkan bisa menzoom sampai kebelahan dada orang itu.

Saya tidak bermaksud menyombong, tetapi saya tidak datang ke mall menggunakan baju kumuh, seperti beberapa orang yang datang ke Mall hanya pakai kaos dan celana pendek. Dan saya berbelanja dalam nominal yang cukup besar, terutama untuk skincare.

Untuk menggambarkan apa yang saya pakai: Saya menggunakan sepatu Nike, tas Braun Buffel, dan  parfum saya Gucci Guilty/Dior. Baju saya adalah baju panjang ala muslim. Bahkan sekarang saya pakai masker modis. Jadi saya tidak bergembel ria saat berada di Mall.

Apa ciri khas yang membuat saya dicurigai? Saya bertanya dalam hati. Ada dua hal : Satu, saya seorang introvert yang lebih nyaman kemana-mana sendiri, sehingga mereka berpikir bisa berbuat semaunya tanpa ada saksi. Sekali lagi seperti wanita di video yang dizoom belahan dadanya, sedang duduk sendiri.

Kedua adalah hijab saya.

Entah berapa banyak saya sudah melihat video viral, tentang wanita berhijab yang sedang mencuri. Apakah di Mall, toko, maupun minimarket. Atau wanita berhijab sebagai pelayan, orang rendahan.

Saya bisa katakan bahwa dalam kehidupan nyata, ini adalah hal yang sangat sulit terjadi. Karena berdasarkan pengalaman saya, seorang berhijab, akan langsung ditempel oleh seorang security. Bahkan masuk minimarket saya langsung ditempel.

Saya membawa mobil saat berbelanja, terlihat saat parkir didepan minimarket itu. Tapi image hijabers pencuri yang disebar di media sosial sudah berurat akar diotak mereka.

Saya jadi teringat pertama kali saya berbelanja di supermaket terbesar dikota saya, tidak kurang dari 10 security mengawasi saya, kemana pun saya berbelok, ada security menghadang, bersikap seolah tidak sengaja. Tapi saya bukan orang dungu dan saya menyimpan semuanya dalam ingatan saya.

Kejadian seperti ini berkurang saat saya terus terang bertanya : “Bapak mengikuti saya, ya?” Sang petugas security menggeleng malu-malu lalu berlalu. Lalu pada saat itu, untuk pertama kalinya saya memperhatikan kamera pengawas di yang ada di langit-langit.

Mereka tidak berhenti, bahkan baru saja saya kemarin ditempel oleh seorang security, karena saya terlalu lama berhenti didepan rak sabun batangan. Saya lama berhenti disana karena saya tidak terbiasa memakai sabun batangan, tidak tahu mana yang baik. Saya sedang ingin mencoba suatu trik yang saya lihat di Instagram untuk alis saya.

Dia awalnya mengintip, tapi karena kesal, sengaja saya berlama-lama berdiri didepan rak sabun yang harga perbatangnya paling mahal hanya Rp.20.000 saja sementara kereta belanja saya setengah penuh dengan barang-barang yang bernominal hampir Rp.2.000.000. Dan tidak ada orang yang mengantri membeli sabun. Ini masa COVID, supermarket sepi.

Dia terus berdiri dibelakang saya, menunggui saya memilih sabun. Sampai akhirnya saya tatap dia dengan garang, langsung dimatanya, sambil melirik tag namanya. Dia terlihat gugup, lalu berlalu. Saya masih berdiri beberapa saat didepan rak sabun dengan perasaan sakit hati. Lalu akhirnya saya meneruskan belanja.Rizahariati

Bagaimana citra hijabers bisa jadi begitu rusak dimata mereka, sampai harus diawasi dengan begitu ketat dan memalukan? Apakah menjadi hijabers begitu rendah?

Kita bisa kembali JAUUH kemasa orde baru. Dimana propaganda Komunis & Islam Radikal VS Republik Indonesia begitu gencar. Propaganda yang begitu kuat, yang digunakan untuk mengendalikan rakyat.

Kita tahu penderitaan mereka yang dituduh sebagai pro Komunis, tidak perlu saya jelaskan lagi. Disemua media sudah disebutkan berulang kali. Mereka memiliki media TV dan cetak, untuk menjelaskan penderitaan mereka. Kita sudah mengerti.

Tapi mereka yang dituduh Islam Radikal juga menyedihkan. Jika golongan tertentu bisa berbisnis, Islam radikal menjadi orang-orang tersingkir, tidak punya bisnis.

Sedang untuk hijabers, begitu keras dimasa itu tekanan kepada hijabers, sampai hampir tidak ada wanita muslim yang berani memakai hijab. Karena hijab menggambarkan fanatisme. Hampir tidak ada hijabers di sekolah-sekolah, institusi pemerintah, militer dan juga hampir tidak ada hijabers bekerja di perusahaan swasta milik keturunan Tionghoa.

Hijabers rata-rata orang menengah kebawah. Miskin. Disingkirkan dan direndahkan. Kecuali mungkin hijabers di Sumatera Barat yang punya jalur perdagangan. Ingat Aceh saat itu ada masalah, dan Sumatera Barat sangat diperlukan oleh Pemerintahan Soeharto.Rizahariati

Di awal saya mengenakan hijab saat SMA, lebih dari 25 tahun yang lalu, almarhum orang tua saya, bahkan ibu saya, seorang muslim yang taat, merasa sangat khawatir. Takut pada masa depan saya, takut saya akan sulit mendapatkan pekerjaan. Takut bahwa saya akan diserang oleh orang-orang yang tidak suka pada hijabers.

Saya terlalu lugu pada saat itu, menganggap enteng. Tidak memahami konsekuesi nyata dari pilihan saya. Bahkan sekarang kalau dipikir-pikir, saya tidak tahu apakah saya akan memilih berhijab saat itu, kalau saya sungguh-sungguh memahami apa yang sebenarnya terjadi pada hijabers.

Orangtua saya menerbangkan kami sekeluarga dari Lampung ke Jakarta untuk menemui datuk saya (ayah dari bapak saya), seorang petinggi agama level dusun, untuk memasukkan logika kedalam kepala saya. Datuk saya dulu melarikan diri dari dusunnya, karena menolak untuk terlibat dalam pemberontakan PRRI. Dia saksi nyata pada apa yang terjadi pada kaum ‘pemberontak’ ini. Dia bisa mengatakan apa yang terjadi pada hijabers.

Tapi ketika itu Datuk saya tidak mengatakan apa-apa. Dia melihat mata saya, dan tahu bahwa saya sudah berketetapan hati. Dia hanya mengatakan, “Orang berjilbab tidak hanya bisa jadi guru madrasah. Tidak apa-apa.” Lalu melanjutkan berbicara pada Bapak dalam bahasa suku saya, Rejang, yang sama sekali tidak saya mengerti.

Entah apa yang dikatakannya, tapi Bapak saya menjadi tenang. Bahkan bangga pada diri saya.

Tapi kemudian yang terjadi memang kurang menyenangkan, saya mengalami cukup banyak tekanan baik dari dalam keluarga besar maupun dari lingkungan sekolah. Saya menjadi agak depresi tapi jaman dulu, bahkan orang tua saya yang keduanya dokter, tidak mengerti apa depresi itu.

Teman-teman saya bersikap berbeda dari sebelum saya memakai hijab. Guru SMA yang menyukai saya, kini menatap saya terheran-heran. Bahkan saya ditaruh di ranking terakhir, setelah sebelumnya saya berada di ranking pertama di kelas sebelumnya. Ini agak membaik setelah saya bisa lebih bersikap santai di kelas 3. BTW, saya satu-satunya dari kelas di ranking terakhir itu yang lulus dari UNPAD sekaligus ITB, just saying.Rizahariati

Ironisnya, banyak dari orang yang menekan dan menyindir saya, sekarang mengenakan hijab. Dan menjadi kelihatan lebih alim ketimbang saya.

Setelah tahun 98 adalah masa terparah buat saya hijabers. Saya teringat pada banyak orang Tionghoa, baik yang merupakan korban langsung dari kerusuhan maupun membaca di media tentang betapa kejamnya penjarahan dan pemerkosaan yang terjadi, bahkan menolak untuk berbicara pada saya.

Mungkin bagi hijabers yang hidup hanya di sekitar mereka yang muslim, tidak keluar dari lingkaran orang-orang sejenis, tidak mengalami ini.

Citra hijabers jauh lebih membaik karena hijabers Malaysia. Disana mereka dihormati, punya banyak pilihan busana, lebih modis. Ini karena produsen disana tanggap dengan kebutuhan hijabers. Hal yang kemudian ditiru oleh produsen Indonesia jauh bertahun-tahun setelah Malaysia.

Tapi dalam lingkup kecil, didaerah-daerah dimana muslim menjadi minoritas, perasaan teror ini masih tetap terjadi. Dan muslim diam-diam didiskriminasi secara halus. Terutama mereka yang senang kemana-mana sendiri seperti saya.

Saya merasakan ini setelah saya bekerja lalu pindah ke kota ini, dimana muslim merupakan minoritas. Terutama minoritas secara finansial. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan mereka, karena tentu saja mereka takut terhadap citra teroris yang sudah melekat pada hijabers. Atau setidaknya jijik pada citra miskin yang juga melekat pada hijabers, seolah saya akan mengemis atau merampok mereka. Segregasi yang terjadi terlalu besar dan kuat.

Saya pernah ditinggal begitu saja oleh pemilik toko saat akan belanja dibeberapa toko yang dimiliki oleh suku tertentu, atau dilempar kepada pegawainya yang berhijab. Dia sendiri hanya duduk dimejanya tidak mengacuhkan saya.

Bahkan pernah ada kejadian disebuah toko kain, karena ditoko tersebut semuanya non muslim, maka dipanggilah pembantu berhijab yang sedang mengerjakan hal lain untuk melayani saya. Pembantu itu datang dengan berkeringat dan terengah-engah, mungkin baru membersihkan toilet,  terbengong-bengong melayani saya, karena dia tidak hafal dengan harga kain manapun. Hati saya sedih sekali.

Pernah ada perusahaan kontraktor yang khusus menyewa orang berhijab untuk berurusan dengan saya, karena menyangka saya hanya akan mempermudah urusan kalau dihadapkan dengan sesama hijabers. Citra fanatik terlalu melekat pada hijabers, sampai mereka tidak bisa menerima, arsitek bisa punya standar yang tinggi untuk meloloskan gambar kerja dan rencana anggaran.

Lalu bagaimana mungkin, jauh setelah Gus Dur berusaha memperbaiki kembali hubungan antar suku di Indonesia, keadaannya masih diam-diam masih mirip seperti di zaman ORBA? Kenapa setelah begitu lama, dan begitu pesatnya peningkatan jumlah hijabers, bahkan yang berprestasi, perlakuan mereka masih begitu?

Jawabannya : Media Sosial.

Hal-hal yang viral di media sosial hampir selalu berkaitan dengan keburukan muslim, atau setidaknya kekonyolan mereka. Bahwa muslim itu intoleran (sebagai mana yang saya alami), suka memaksa orang lain menutup aurat, merendahkan perempuan lain yang tidak berhijab, suka bertengkar, victim blaming pada pelecehan seksual, bahkan ada hijabers yang bangga menjadi pelakor.

Belum lagi viral mengenai mereka yang memilih simbol-simbol tertentu yang dituduh berafiliasi pada teroris, bahkan anak kecil pun bisa kena hujat. Tega sekali.

Dan ceramah ulama-ulama yang viral, hampir selalu viral dibagian yang dianggap melecehkan agama lain, atau dianggap norak, atau dianggap bertentangan dengan kemanusiaan. Semua yang buruk-buruk.

Apakah ada muslim yang buruk, tentu saja ada!! Kami ini manusia. Tentu ada yang baik dan ada yang buruk. Tapi demikian pula dari golongan lain yang bukan muslim. Ada yang bejat, jahat, menjijikkan dan memalukan. Rizahariati

Saya berani taruhan banyak juga wanita non hijabers atau non muslim yang mencuri. Tapi di Indonesia, setidaknya. Mereka tidak akan terlalu viral.

Seperti yang saya alami, saat saya memprotes suara musik islami dan mengaji yang mendadak keras saat saya datang, tidak ada reaksi, tidak viral. Tapi saat saya melakukan protes yang sama kepada lagu natal yang juga dikeraskan. Tidak saja viral, bahkan masa depan saya mau mereka hancurkan lewat artikel-artikel itu.

Berbeda dengan protes azan di Riau, dimana banyak yang membela pelaku protes meski gagal dan secara umum membuat citra muslim terlihat jauh lebih buruk lagi. Tidak ada satu pun yang membela saya, kecuali satu orang itu yang postingnya saya temukan secara tidak sengaja.

Bahkan di Kompasiana, saat saya menulis dengan memuji suku dan agama tertentu, langsung mendadak yang membaca sampai ribuan. Sementara saat saya mengeluhkan sesuatu tentang mereka, yang membaca tidak lebih dari beberapa klik. Itulah sebabnya saya meninggalkan Kompasiana.

Saya tidak heran kalau hal yang sama terjadi lagi pada artikel ini, bagi saya itu malah akan membuktikan point saya.

Saya awalnya merasa cukup menyampaikan uneg-uneg saya dengan beberapa posting di media sosial. Tapi ada kejadian yang membuat saya memutuskan untuk membuat artikel ini.

Beberapa minggu yang lalu, saya baru bergabung dengan Tiktok, karena tertarik ingin mencoba efeknya yang lucu-lucu untuk diposting di instagram saya.

Seperti biasa, dengan hal-hal yang baru, saya akan jadi sangat terobsesi. Siang malam saya melihat postingan Tiktok, terus menerus. Tertawa, menangis. Saya bangun jam 3 pagi sekalian sahur untuk membayar puasa, sudah main tiktok, sampai waktu bekerja dan belajar. Setelah itu sampai malam hari lanjut main Tiktok.

Tiada hari tanpa Tiktok. Sampai saya menemukan sebuah pola yang aneh.

Di Tiktok ada halaman rekomendasi. Dan yang direkomendasikan kepada saya secara berkala adalah posting-posting dimana muslimah berhijab, biasanya yang wajahnya cenderung tidak menarik dan mengesalkan, melakukan atau mengatakan hal-hal yang intoleran, jelek, merendahkan. Dari kalangan menengah kebawah dan tidak berpendidikan. Persis seperti di zaman Orba 'kan?

Di posting mereka yang non muslim, yang seksi, yang menikah dengan orang yang berbeda agama, yang pindah agama, yang membuka hijab, penuh dengan komentar-komentar kejam dari mereka yang berlaku seolah-olah muslim.Rizahariati

Kenapa saya katakan seolah-olah? Karena saya tidak cek KTP mereka satu-satu. Semua orang di Tiktok saya rasa juga tidak akan mengecek mereka satu-satu, pokoknya mereka yakin haqqul yakin bahwa mereka PASTI muslim sebenarnya.

Bahkan komentar saya yang mengkritik sesama muslim, misalnya : Jangan mubazir dengan makanan, akan di like sampai ratusan orang. Saya membayangkan, kalau orang biasa, pasti akan luar biasa senang dipuji dengan like sebanyak itu, lalu akan mengkritik sesama muslim dengan lebih sangar lagi untuk mendapatkan high dari like. Sementara saya langsung menghapus komentar itu.

Tapi saya sudah tua bangkotan. Like dari bots tidak berarti banyak untuk saya. Kalau like dari saudara atau teman saya, masih okay lah. Yang terjadi, saya malah menaruh curiga.

Kecurigaan saya semakin kuat saat seseorang dengan akun anonim yang di lock, me-reply komentar saya disuatu posting dengan : “Maaf, ini mbak-mbak yang bikin tweet “waktu saya masuk mall kenapa volume suara lagu natalnya (serasa) diperbesar” itu bukan sih? Maaf, kayak kenal soalnya.

Saya tidak menggunakan nama lengkap saya saat menggunakan Tiktok, terutama karena saya ingin memisahkan antara akun-akun saya yang serius dengan akun-akun yang berkaitan dengan makeup dan hiburan yang rencananya akan menjadi kenangan saya dihari tua. Meski keduanya sebetulnya bisa saling mempompa jumlah followers saya. Tapi saya tidak haus followers.

Sementara dilain pihak, karena masih baru, akun Tiktok saya jumlah followersnya hanya dua orang. Berarti seharusnya saya tidak dikenal, kecuali kalau ada orang yang melakukan riset secara khusus mengenai diri saya.

Saya jadi menyadari. Urusan Media Sosial ini bukanlah urusan sepele. Mereka benar-benar mengendalikan persepsi publik tentang segala hal, termasuk juga perusakan citra Muslim di Indonesia.

Ini adalah proses yang bisa berlangsung bertahun-tahun, yang akan merasuk kebawah sadar. Sehingga tidak saja non Muslim memandang rendah Muslim, bahkan sesama muslim akan memandang rendah dirinya sendiri. Dan ini adalah hal yang buruk.

Seperti yang saya alami, banyak juga pegawai muslim yang ikut mencurigai saya. Mungkin karena melihat berbagai video viral dimana muslimah berhijab yang menyembunyikan barang-barang dibawah hijabnya.

Atau merasa diri sendiri tidak berharga, karena berhijab. Sehingga melihat sesama muslim yang lebih baik nasibnya, hatinya terasa sakit, merasa dirinya tidak berharga, lalu ingin menyakiti hati mereka. Melakukan prank. Sebaliknya saat orang merendahkan dirinya, dia merasa pantas diperlakukan demikian. Pantas menjadi miskin, terbelakang, dan sebagainya.Rizahariati

Tapi tujuan utamanya menurut pendapat saya, bukan sekedar merusak citra muslim tetapi polarisasi. Ingat kutub Islam Radikal vs Komunis? Media sosial tampaknya ingin menarik agar orang terkotak-kotak lagi kedalam pola basi yang sama.

Saya yakin banyak orang-orang di media sosial, bahkan saya curigai di Kompasiana, yang melihat artikel saya yang memuji-muji suku tertentu atau Jokowi serta semua keputusannya, langsung senang, memberikan title pilihan atau bahkan headline. Dan yang membaca berjibun. Padahal artikelnya menurut saya berkualitas rendah.

Sebaliknya jika saya berkeras bahwa suku itu atau non muslim ada kesalahan, karena mereka bukan malaikat yang sempurna. Atau saat saya mengkritik Jokowi dan kebijaksanaannya, misalnya. Langsung merasa saya intoleran. Tidak peduli kebenarannya.

Ini karena mereka sudah masuk kedalam satu kutub, sehingga apapun kritikan dianggap sebagai serangan yang harus disingkirkan. Bahkan menyebut kata tukang mebel di judul akan membuat saya diabaikan. Saya nyengir setiap kali mengingat hal ini.

Serangan kepada saya dulu, bukan sekedar ingin membuat saya sebagai muslim terlihat buruk, tapi juga ingin mendorong saya untuk masuk lebih jauh lagi menjadi Islam yang fanatik, yang membenci mereka yang tidak sama dengan saya. Lalu menyerang mereka.

Tapi yang tidak mereka sadari, atau mungkin tidak mereka bisa terima, banyak orang non muslim yang sudah baik pada saya. Terutama mereka yang tidak terlibat media sosial, mereka yang tetap berkawan dengan saya meski saya saat itu berhijab, yang mengambil saya sebagai pegawai dan memperlakukan saya dengan baik, meski saya orangnya nyentrik.Rizahariati

Bahkan ada satu mantan bos saya, begitu baik bahkan setelah saya mengundurkan diri dia merayakan perpisahan dengan saya dengan nasi tumpeng plus pidato terimakasih yang sangat menyentuh. Kebaikan ini menjadi pegangan saya saat saya menghadapi banyak orang yang memperlakukan saya sebaliknya saat saya pindah ke tempat saya sekarang.

Lalu sebaliknya, ada media-media ‘Islam fanatik’, yang juga sebetulnya membuat muslim terlihat buruk, menampung muslim yang terpinggirkan, yang disakiti, mengolah mereka agar bisa digunakan untuk diadu dengan sesama rakyat sewaktu-waktu.

Media sosial adalah area yang tidak terjangkau oleh ulama-ulama kita yang sudah tua, atau tetua kita yang menyayangi rakyat dan cerdas, sehingga tidak ada orang yang bisa secara aktif, masuk memeriksa kolom komentar satu-satu, lalu menasihati mereka. Kebanyakan adalah anak-anak muda berdarah panas, yang melihat standar kebaikan yang terlihat keren dipermukaan saja.

Dengan demikian, orang-orang bisa mempengaruhi pemikiran anak-anak kita dengan sesuka hati mereka. Ini sudah dilakukan Amerika bertahun-tahun dengan mendominasi media sosial semenjak internet pertama kali muncul.

Tiongkok mematahkan dominasi ini dengan cara jauh lebih cerdas ketimbang Amerika.

Sementara platform media sosial amerika dipenuhi oleh buzzer dari Rusia, Tiongkok dan negara-negara lain, sehingga rakyat Amerika mendapatkan pengaruh dari mereka juga. Tiongkok dengan Tiktoknya merajai tanpa mempengaruhi rakyatnya sendiri.

Tiongkok memiliki Tiktok versi mereka sendiri DouYin yang sudah lebih dahulu populer dengan jumlah user yang luar biasa besar, menggunakan karakter Hanzi (huruf Kanji Mandarin) sehingga mereka tidak tertarik mengikuti Tiktok versi Internasional.

Lagipula Tiktok versi internasional tidak memiliki pilihan huruf Hanzi Sederhana yang digunakan oleh rakyat Tiongkok, hanya ada pilihan huruf Hanzi Tradisional yang digunakan oleh rakyat Taiwan. Sebaliknya, banyak orang bisa berbahasa Mandarin dan mau bergabung dengan DouYin. Untuk apa? Kan sudah ada Tiktok?

Dengan ini, mereka bisa mempengaruhi seluruh dunia, bahkan Amerika, untuk melakukan propaganda Tiongkok atau setidaknya mempromosikan produk Tiongkok. Sementara rakyat Tiongkok tidak bisa dipengaruhi secara masif. Mungkin ada beberapa agen rahasia yang mencoba, tapi tentu saja tidak banyak.

India menyadari hal ini lalu mematahkan pengaruh Tiktok dengan membannya beserta puluhan platform Tiongkok lainnya.Rizahariati

Polarisasi yang basi ini, konservatif vs Liberal dan sejenisnya, jelas dianggap banyak pihak masih efektif. Sehingga masih ada di Indonesia dimana-mana.

Berbagai pihak yang  sudah pernah mendapatkan keuntungan dari hal ini secara turun temurun dan ingin terus mempertahankan keuntungan ini, ingin membuat rakyat saling membenci secukupnya, sehingga sibuk sendiri dan tidak menyadari bahwa mereka membuat berbagai keputusan penting yang  menguntungkan diri mereka sendiri.

Tapi untuk rakyat, ini bisa jadi sangat merugikan kita. Kita terlalu sibuk untuk bertengkar mengenai hal-hal yang sepele, memelototi satu sama lain, sementara negara lain menatap kedepan dan memoles diri mereka. Seperti Korea dengan semangat meningkatkan industri kreatif mereka, Tiongkok dengan berbagai kemajuan Teknologi yang mereka dapat dari pengembangan industri yang mereka curi dari banyak tempat.

Seperti pegawai toko yang membuat saya batal belanja dengan perlakuan diskriminatif mereka pada saya. Kita terlalu sibuk saling menghujat ketimbang berusaha mensejahterakan rakyat, bersikap puas mendapatkan remah-remah sementara Sumber Daya Alam kita semakin kering dan pada akhirnya kita tidak punya apapun untuk diwariskan ke anak cucu selain kebencian.

Kita juga bisa belajar dari sejarah, bahwa polarisasi ini bisa berakibat fatal bagi rakyat saat mereka yang berada dipuncak sedang terlibat dalam perang dagang atau perebutan wilayah. Yang akan mengorbankan nyawa, yang usahanya akan hancur, adalah rakyat. Bukan mereka.

Saat ini, kebencian secukupnya tetap aman untuk kita. Tapi bagaimana dengan anak cucu kita? Apakah kita akan mewariskan bom waktu ini pada mereka? Atau kita akan mengambil alih kendali? Karena lewat media sosial, mereka bisa memerintahkan untuk menghancurkan siapa yang mereka kehendaki, memuja siapa yang mereka kehendaki, dan orang-orang yang berakal sehat akan digilas habis.

Saya juga ingin mengingatkan pada pengusaha Indonesia, yang darahnya masih ada merah putih, bahwa cara polarisasi sudah tidak berlaku lagi. KALIAN akan disingkirkan pelan-pelan, karena bukan kalian lagi yang akan memegang kendali. Meski untuk sementara mungkin kalian masih mendapat bagian keuntungan.

Kalian pun akan tersingkir, karena persepsi orang Indonesia yang dikendalikan media sosial akan berubah pandangan terhadap pengusaha asing. Yang tersisa hanya pengusaha-pengusaha boneka. Dan rakyat menjadi manusa jajahan berperut kenyang tapi hidup dengan rasa curiga dan benci. Siap untuk saling bunuh dengan sedikit pemicu.

Apa yang bisa kita lakukan? Terus terang saya juga tidak tahu. Saya mengakui saya tidak terlalu cerdas untuk memberikan solusi. Tapi setidaknya, menyadari bahwa, harus keluar dari hasutan media sosial adalah langkah pertama.

Untuk sesama hijabers, berhentilah saling menyerang. Kita itu seperti cermin, menyerang satu sama dengan menyerang diri sendiri. Tidak hina untuk saling mendukung, karena itu berarti mendukung diri sendiri.

Sadari bahwa akun-akun populer bahkan dengan orang sungguhan, yang kelihatan seperti orang biasa yang saling menyerang, bisa jadi merupakan bagian dari adegan drama yang sama. Sehingga kalau terlalu sering muslim melakukan kebodohan, bisa jadi itu settingan. Yang diserang pun settingan. Yang bisa jadi lebih baik dari settingan Artis Montok di acara Infotainment.

Menerima bahwa kita semua manusia biasa yang ada kebaikan dan keburukan. Menggunakan media sosial untuk lebih solid bersatu, saling belajar mengenai kebaikan satu sama lain, meningkatkan kreativitas, mempromosikan berbagai produk dan ide MILIK KITA SENDIRI. Keluar dari penjajahan yang sedang kita alami ini. Mengingatkan mereka yang bersalah secukupnya, tanpa harus menghancurkan sampai menimbulkan dendam sebagaimana Cancel Culture yang luar biasa bodoh ini.

Bersikap waspada pada hujatan yang berlebih-lebihan, mulai dari kejadian pemicu. Bertanyalah, benarkah yang melakukan itu muslim? Apakah alasan dia masuk akal? Jangan ujug-ujug menuduh intoleran lalu mencaci maki menghujat.

Saya lebih menyukai kesadaran dari rakyat sendiri, dan bukannya pembatasan dari pemerintah, karena pemaksaan mungkin menimbulkan kepatuhan, tapi akan ada rasa dendam yang membuat orang tidak bahagia.

Jika kita bisa mengendalikan media sosial, tanpa perlu meminta pemerintah melakukan pembatasan terlalu ketat, melainkan murni kesadaran kita sendiri. Bisa jadi kita akan bisa menyusul ketertinggalan kita dari Tiongkok dan Korea.

Kita bisa menjadi bangsa yang tidak saja sukses tapi juga berbahagia. Menjadi masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manga Bela Diri Jadul Favorit

Yakuza, Organisasi Kriminal yang Menjaga Etika

Seri 12 Dewa Olympus 6 : Apollo, Dewa Tampan Serba Bisa