Posting Terbaru

Mengenang Peristiwa yang Saya Alami di Desember Bertahun Lalu

Gambar
Saya pernah dibuli dengan hebat di Desember 2019, karena saat itu saya mempertanyakan kenapa setiap saya masuk mall, mendadak suaranya dikeraskan. Saat itu kebetulan natal, dan saya dianggap mengeluhkan lagu Natalnya, dan bukan suara yang dikeraskan. Dan karena saya berhijab, dinegara dimana orang berhijab seringkali dituduh sebagai intoleran oleh para Islamophobic, maka saya langsung difitnah besar besaran. Sungguh lucu di negara yang katanya penganut muslim terbesar, tapi seorang muslim tidak bisa sama sekali bersuara. Bahkan saat dilecehkan oleh operator. Kata rasis dan Islamophobic seperti Kadrun, bertebaran menghina hijab saya. Bahkan sampai sekarang banyak artikel penulis murahan, yang isinya menguliahi saya dengan penjelasan yang tidak masuk akal mengenai keluhan saya. Padahal penjelasannya sederhana saja, yang di cuitkan oleh satu netizen yang saya rephrase :  "Ada kode khusus dikalangan retail shop/mall, jika ada kejadian tertentu, seperti ada pengunjung yang diduga akan

Cinta Romantis itu Melawan Sejarah


Saya tidak menentang cinta romantis...tapi.. 

Kita sering melihat artis yang pernikahannya berakhir dengan menggenaskan. Padahal awalnya begitu menggebu-gebu. Pameran adegan kemesraan di sosial media antara dua sejoli yang rupawan, bersahut-sahutan kata romantis yang membuat fans terharu, belum lagi pelaminan megah yang membuat jutaan jomblowan dan jomblowati bagaikan tertusuk sembilu.

Yang kemudian dalam waktu cukup singkat diakhiri dengan perceraian yang mencoreng wajah. Berbalas kata-kata sadis, mengungkit-ungkit rahasia pribadi, membuat malu sanak saudara. Masalah Ikan Asin-lah, hutang mahar-lah, mertua matre-lah. Sangat memalukan.

Kita bisa melihat, bahkan di sekitar kita, banyak sekali pasangan, yang begitu mesra super romantis saat pacaran, begitu menggebu-gebu, dalam jangka waktu kurang dari lima tahun setelah menikah berubah suram. Berbagai badai menghampiri sehingga berakhir dengan perceraian.
Orang-orang seperti ini, yang sebelum menikah, memandang rendah lajang yang mereka anggap hidup sengsara karena tidak punya kisah cinta sepanas mereka, setelah beberapa tahun menikah, malah berbalik merasa iri pada si lajang. Tidak sabar untuk membebaskan diri dari pernikahan yang mulai dingin akibat mulai padamnya api asmara.
Saat ini jika saya mengatakan: Menikahlah dengan mempertimbangkan harta dan kekuasaan. Menikahlah demi kenyamanan hidup. Jangan demi cinta romantis. Maka saya akan diomeli oleh semua orang.

Cinta romantis, masih dianggap sebagai alasan utama pernikahan. Pernikahan tanpa cinta, dianggap sangat menyedihkan. Apalagi wanita yang menikah demi kesejahteraan finansial, uwoooo!! Akan dianggap sebagai cewek matre, dan disarankan untuk kelaut aje.

Juga pria yang menikah dengan anak penguasa atau konglomerat. Jika dia terus terang mengatakan bahwa pernikahan ini untuk memperkuat kedudukan politiknya, dia akan dihujat habis-habisan dan sang wanita dikasihani, karena dianggap tertipu cinta palsu.

Pendapat mereka : Jika tidak menikah karena cinta romantis, hidup pasti sengsara. PASTI 

Cinta romantis maksudnya cinta yang berkaitan dengan hasrat, gairah, dan keinginan. Fisik, mental dan emosional. Jika bersama harus ada 'setrum'nya. Jika berpisah harus ada kerinduan.

Cinta romantis memang menyenangkan. Tapi sejarah ribuan tahun mengatakan, cinta, bukanlah dasar utama untuk pernikahan. Baru sejak tahun 1850-an di Eropa orang mengenal pernikahan karena cinta.

Sebelumnya, pernikahan merupakan hal yang berkaitan dengan harta dan kekuasaan. Untuk memperjelas hak waris, pembagian harta, dan kedudukan dalam masyarakat. Dengan adanya pernikahan, orang dengan resmi bisa menyatakan yang mana di antara anaknya yang bisa mewarisi harta dan kekuasaannya.

Ingat, diluar pernikahan bisa juga ada anak anak tidak resmi, juga orang asing yang mungkin akan berusaha mengklaim tanah atau kekayaan dari yang bersangkutan.

Selain itu memperkuat kedudukan keluarga dalam lingkungan masyarakat, dengan menyatukan kekuatan dua keluarga. Atau lebih.

Cinta tidak dianggap penting, bahkan dianggap hal yang mengganggu. Ada tradisi zaman dulu, yang memaksa pasangan bercerai jika terlalu sibuk dengan cinta sehingga melalaikan kewajibannya dalam masyarakat. Mungkin seperti kisah Robb Stark dan Talisa Maegyr di Game of Thrones.

Generasi kakek nenek saya, di tahun 1940-an masih menikah melalui perjodohan yang disetujui oleh keluarga setelah mempertimbangkan kecocokan strata keluarganya.

Tentu saja ada ada beberapa kekecualian, tetapi umumnya semua budaya di Indonesia menganggap bahwa pernikahan bermanfaat untuk memperluas kekuasaan, memperbanyak harta dan untuk memberikan dan memperbaiki keturunan. Cinta itu bisa muncul bisa tidak. Itu tidak penting.

Cinta romantis menjadi keharusan setelah rakyat Indonesia merdeka untuk menikmati karya sastra, musik dan film dari dunia barat. Awalnya hanya di kota-kota besar, tapi sekarang, sampai pelosok-pelosok desa yang ada internetnya semua merasa harus mencintai pasangan mereka sebelum menikah. 

Keharusan cinta romantis ini akhirnya membuat mereka membutakan diri kepada keterbatasan manusia. Abai bahwa pasangan hidup mereka kelak juga harus mampu memenuhi segala aspek kebutuhan pernikahan mereka, dari kedua belah pihak.

Mulai dari kebutuhan yang jelas besar seperti kebutuhan finansial, biasanya diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pemenuhan kebutuhan seks secara rutin, dukungan emosional di saat sulit, memberikan keturunan dan menjaga dengan baik posisi pasangannya di keluarga dan masyarakat.

Sampai pemenuhan kebutuhan yang kecil-kecil, bersedia menjadi supir yang mengantar ke mana pun, mengurus rumah, memasak, menjaga anak atau setidaknya bisa mengkoordinasi para pelayan dan pengasuh anak. Membela keluarga jika ada maling atau binatang liar masuk. Menyediakan kebutuhan relaksasi dan rekreasi, misalnya liburan setahun sekali ke Bali.

Saat pikiran tertutup kabut romantis, semua potensi pemenuhan kebutuhan ini tidak pernah dibicarakan. Padahal sepanjang sejarah, selalu ada negosiasi dan pemeriksaan terlebih dahulu, mampukah kedua belah pihak saling memenuhi kebutuhan pernikahan?

Biasanya akan ada pihak penghubung alias mak comblang yang akan bertugas memeriksa dan menegosiasikan apa saja yang akan disumbangkan kelak dalam pernikahan.

Sepanjang sejarah, hal-hal yang umumnya akan dicek dari calon pengantin sebelum pernikahan :

Kecocokan karakteristik
Orang yang sedang terbuai cinta, biasanya tidak peduli apakah kepribadian satu sama lain cocok. Apakah yang satu suka party dan yang satu lagi lebih suka mengaji. Itu tidak penting. Yang penting cinta.

Sedangkan dalam sejarah, selalu di periksa terlebih dahulu karakter keduanya. Orang jawa akan menggunakan primbon. Orang Tionghoa akan menghitung berdasarkan tanggal lahir. Tapi yang pasti akan dilakukan adalah berdasarkan wawancara sang mak comblang dengan orang sekitarnya.

Biasanya dari gosip sekeliling akan didapatkan info, apakah si calon istri pandai memasak? Suka mengurus rumah? Apakah calon suami cukup cerdas? Tidak main judi atau mabuk?

Termasuk juga pemeriksaan kesehatan, apakah mereka kelak akan mampu menghasilkan keturunan yang baik?

Latar belakang keluarga 
Pernikahan dalam sejarah merupakan usaha untuk memperkuat dua keluarga, karenanya akan dicek, apakah keluarga masing-masing akan mendapatkan keuntungan atau malah kerugian jika kedua anak menikah. Latar belakang yang setara akan lebih disukai. Misalnya dari agama yang sama, kasta yang setingkat, suku yang sama.

Apakah kedua keluarga bisa cocok saat berkumpul? Apakah dalam keluarga calon ada sejarah kriminal? Permusuhan dengan pihak penguasa?

Zaman sekarang ada orang yang bercerai karena ternyata keluarga mertua tidak harmonis dengan menantu, selalu bertengkar mencaci maki. Atau keluarga yang tidak diminta dukungan saat pernikahan, mungkin karena berbeda agama, akhirnya tidak bisa membantu saat muncul masalah dalam pernikahan.

Latar belakang Finansial 
Wanita lebih menyukai pria yang lebih mapan kedudukan finansialnya. Kebanyakan wanita tidak akan mau selamanya bekerja sementara suami yang membesarkan anak dan mengurus rumah tangga.

Kalaupun ada yang menikah dengan pria yang kemampuan finansial lebih rendah, dia akan menilai potensi finansial pria itu di masa depan, dari kecerdasannya, koneksinya juga kegigihannya. Hampir tidak ada wanita yang mau menikahi pria yang miskin dan malas.

Tapi dalam sejarah, tidak hanya itu yang diperiksa, kedua belah keluarga akan memeriksa situasi keuangan calon DAN seluruh keluarga mereka. Memeriksa asetnya, hutang piutangnya, jangan sampai keluarga mereka terjerumus masalah saat pernikahan terjadi. Lalu dibuat surat perjanjian yang jelas saat terjadi pernikahan mengenai situasi aset ini.

Zaman sekarang, orang yang dimabuk cinta bahkan tidak akan menanyakan gaji calon suaminya. Apalagi menanyakan hutangnya. Tidak memeriksa cara calon istri membelanjakan uangnya. Bisa-bisa malah muncul pertengkaran hebat. Padahal kan masih sayang-sayangnya.

Padahal masalah keuangan adalah penyebab terbesar perceraian saat ini.

Seks bukanlah hal yang terpenting dalam pernikahan zaman dulu. 
Dalam sejarah, cinta dan seks adalah dua hal yang terpisah. Orang bisa mencintai tanpa berhubungan seks, dan bisa berhubungan seks tanpa harus mencintai. Kalau kebetulan berhubungan seks yang dicintai, ya jadi bonus.

Pernikahan memang mengharuskan pemenuhan kebutuhan seks. Tetapi jika tidak bisa dipenuhi satu pihak, biasanya istri, maka sang suami bisa mengambil kekasih, selir atau istri lain atau malah melalui pelacur (tergantung tradisinya). Bukan berarti pemerkosaan atau perselingkuhan, karena kedua belah pihak bersedia, setuju dan direstui lingkungan sosial.

Kini seks hanya boleh dilakukan dalam satu pernikahan antara satu suami dan satu istri. Dan mereka haruslah dalam keadaan saling mencintai. Diluar itu orang akan ngamuk kalang kabut. Lihat saja urusan Poligami di Aceh kemarin.

Apakah ini yang menyebabkan pernikahan zaman dulu langgeng? 
Belum tentu juga. Karena perceraian bukanlah hal yang diterima dengan baik seperti sekarang. Sebagaimana beratnya persyaratan pernikahan, seberat itu pula persyaratan perceraian. Karena perceraian berarti juga memutuskan hubungan dua keluarga, memutuskan jalinan kekuasaan dan harta.

Selain itu wanita yang tanpa suami, kedudukannya menjadi lemah dalam masyarakat, karena tidak lagi memiliki suami sebagai pelindung. Begitu menyedihkan sampai ada tradisi membakar diri di India, jika suaminya meninggal.

Jadi zaman dulu pernikahan lebih langgeng, karena perceraian bukanlah suatu alternatif yang bisa diambil.
Pixabay/OldCouple
Tapi penelitian yang menyeluruh mengurangi resiko keributan yang mungkin akan terjadi dimasa depan. Sehingga lebih mudah ditanggulangi saat muncul masalah.

Tentu saja Cinta Romantis Perlu
Tapi bukanlah segalanya saat memasuki jenjang pernikahan.
Belajar dari sejarah, kita harus bisa menggabungkan cinta romantis yang merupakan tradisi baru dengan pemeriksaan kemampuan pernikahan sebagaimana yang sudah dilakukan sepanjang sejarah.

Ada pemeriksaan, negosiasi dan persetujuan yang jelas dan terang sebelum pernikahan. Sehingga tidak mendadak calon pasangan merasa tertipu saat pernikahan sudah terjadi. Jika timbul permasalahan pun, solusi diharapkan lebih mudah terjadi karena lebih sedikit friksi.

Umumnya cinta romantis akan mereda pada waktunya. Namun jika kedua pihak mampu mengarungi pernikahan dengan baik, berkat adanya persiapan yang matang, bukan sekedar karena nafsu romantis yang menggebu-gebu. Akan muncul rasa saling menghormati, saling mendukung dan mampu menjaga ketertarikannya pada satu sama lain. Lalu akan muncul cinta lain yang lebih lembut, lebih langgeng dan lebih terhormat dari cinta romantis.

KATANYAAAA...

*Saya seorang lajang setengah robot yang merasa cukup bahagia dengan kehidupan lajang saya, dan terlalu malas untuk mengurus rumah tangga. Oleh karena itu saya selalu merasa takjub terhadap perjuangan orang dalam meraih ‘cinta romantis’ dan pernikahan. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manga Bela Diri Jadul Favorit

Yakuza, Organisasi Kriminal yang Menjaga Etika

Seri 12 Dewa Olympus 6 : Apollo, Dewa Tampan Serba Bisa