|
Pixabay/Comedy |
Menyaksikan Nunung yang ditangkap karena urusan Narkoba, berbagai wawancara dan permohonan maaf yang berurai air mata. Hati saya ikut sedih. Betapa malang dan memalukannya nasib komedian satu ini, ditangkap, videonya disebar, menjadi ‘contoh’ betapa bahayanya Narkoba. Seolah Nunung bisa menghentikan berton-ton Narkoba yang masuk negara ini.
Ada yang menghujat, ada yang mengasihani. Tapi sebagian besar merasa heran. Betapa Nunung yang sering membuat kita terbahak-bahak, ternyata menyimpan rahasia begitu kelam. Pecandu Narkoba.
Saya teringat pada Robin Williams, yang mengakhiri hidupnya sendiri diusia 63, setelah bertahun-tahun berjuang mengatasi depresi dan kecanduan alkohol. Juga pada Jim Carrey yang beruntung bisa mengatasi depresinya, namun melalui perjuangan berat mengatasi kecanduan kokain, yang membuat kehidupan pribadinya berantakan.
Itu sedikit diantara banyak komedian yang ternyata memiliki beban begitu berat dalam hidupnya, sampai harus melarikan diri pada alkohol dan narkoba. Jika diperiksa lebih lanjut, ternyata memang banyak orang yang memilih menjadi komedian memiliki latar belakang kehidupan yang kelam. Baik dari latar belakang finansial yang rendah, keluarga yang berantakan, maupun memiliki permasalahan mental yang cukup serius.
Pemilik Klub Komedi Laugh Factory, Jamie Masada mengatakan bahwa 80% dari komedian yang datang ke tempatnya, memiliki latar belakang penuh tragedi. Mereka mengatasi masalah dalam hidup mereka dengan membuat orang tertawa.
Hal ini tidak jauh berbeda dari latar belakang para pelawak Srimulat, yang kebanyakan berasal dari keluarga kelas menengah kebawah dengan berbagai permasalahannya. Bergabung mengadu nasib, menghibur dari kota satu ke kota lain sampai mencapai media mainstream.
Mark Twain pernah mengatakan : Sumber rahasia dari humor bukanlah kegembiraan, melainkan kesedihan. Karenanya, tidak akan ada humor di surga.
Benarlah, hal yang lucu, biasanya berasal dari hasil mengolok-olok suatu tragedi atau hal yang dianggap hampir membahayakan bagi pemirsanya. ‘Hampir’ sepertinnya adalah kata kunci pembeda antara humor dan tragedi.
Itulah kenapa adegan orang yang dikejar kambing yang mau nyeruduk pantatnya, lari kebablasan sampai kejedot dinding lalu mengelus-elus jidatnya yang benjol dirasakan lucu. Karena yang bersangkutan sehat walafiat, minus jidat benjol. Dia hampir saja celaka, tapi tidak celaka betulan.
|
Pixabay/Laughter |
Dalam banyak adegan lawak Indonesia selalu ada adegan orang susah, misalnya pembantu rumah tangga, yang ditekan majikannya yang sombong serba menghina, lalu dengan kocak baik sengaja maupun tidak sengaja melakukan ‘balas dendam’ pada bosnya. Hal yang demikian hampir semua kita pernah merasakan, diam-diam ingin ngerjain pak bos yang ngeselin.
Selain pemahaman yang mendalam tentang penderitaan atau tragedi, diperlukan juga ketepatan waktu menceritakan sebuah lelucon, kecerdasan menempatkan pada konteks dan kecepatan luar biasa untuk tanggap menyesuaikan jalan cerita dengan reaksi dari pemirsa. Hal ini didapatkan dari mengasah kemampuan terus menerus, dengan berkali-kali tampil langsung dihadapan penonton.
Proses mengasah kemampuan ini luar biasa berat. Jangankan melawak, sekedar bicara didepan umum saja sudah berat untuk kita ‘kan? Apalagi harus mengucapkan sesuatu yang lucu.
Saat masih baru belajar, tidak mungkin bisa langsung lucu. Reaksi penonton mulai dari krik..krik..krik.. semua diam tidak mengerti lelucon, diejek dan disuruh turun panggung, sampai dilempari botol, bisa saja dialami oleh komedian.
Bahkan komedian yang sudah punya jam terbang tinggi pun tetap menanggung resiko miskomunikasi dengan penontonnya, lalu diprotes besar besaran, bahkan sampai diadukan kepada polisi karena dianggap menghina.
Ini bisa jadi karena sang komedian tidak bisa mengolah dengan tepat tragedi menjadi hal yang lucu sehingga penonton hanya menangkap bagian tragedinya saja. Lalu bereaksi negatif.
Jika orang punya alternatif pekerjaan lain, sekali di boooo sampai turun dari panggung saja sudah cukup untuk menghentikan keinginan menjadi komedian untuk selama-lamanya. Tetapi mereka yang tidak punya keahlian atau minat lain, tidak akan punya pilihan lain selain terus mencoba lagi dan lagi. Menguatkan diri menghadapi segala rasa malu dan susah saat manggung.
Latar belakang hidup yang gelap, emosi yang labil, ditambah proses pematangan kemampuan yang berat, membuat komedian rentan jatuh kedalam depresi yang mendalam lalu lari kepada alkohol dan narkoba. Dan bagai lingkaran setan, depresi dan sakit hati ini malah membuat mereka justru jadi lebih lucu lagi saat melawak. Menambah bahan lelucon.
Alkohol yang menumpulkan rasa sakit. Narkoba seperti kokain atau sabu-sabu akan membuat mereka sanggup menghadapi reaksi penonton dengan semangat tetap tinggi. Memaksa mereka untuk terus memproduksi tawa, meski didalam hampir hancur karena depresi. Ganja akan membuat mereka santai dan tidak panik saat tidak ada yang tertawa. Dan semua ini tersedia dalam jumlah besar di dunia hiburan.
Hal ini sangat berbahaya jika terus dilakukan dalam jangka waktu panjang, perlahan-lahan merusak performa mereka. Alkohol dan Narkoba menghancurkan fisik mereka. Depresi yang berkepanjangan menghancurkan kehidupan perkawinan mereka, bahkan sampai bunuh diri. Tidak heran banyak komedian tidak berusia panjang.
Tentu tidak semua komedian kehidupannya segelap itu. Beberapa, bisa bisa bertahan karena dari berusaha hidup sebersih mungkin, seperti Kevin Heart atau Jerry Seinfeild. Melalui disiplin diri dan komitmen yang kuat dari awal mereka tidak terjerumus sebagaimana kolega-kolega mereka.
Beberapa berhasil menyelamatkan diri dengan sengaja meninggalkan karir mereka dipuncak kejayaannya, seperti Dave Chapelle yang lari ke Afrika, saat karirnya sedang jaya-jayanya, karena merasa sudah hampir kehilangan akal dengan segala tuntutan karir. Atau Jim Carrey yang berhenti bermain komedi dan memusatkan perhatiannya pada melukis.
Tidak mudah melawan sisi gelap profesi komedian, tapi bisa dilakukan. Semoga Nunung juga bisa melakukannya dengan selamat.
Komentar
Posting Komentar