|
Pixabay/Prometheus |
Prometheus tercenung. Lagi-lagi berita kematian anak-anaknya.
Berbeda dengan saudara kembarnya, Epimetheus yang tidak terlalu peduli dengan makhluk-makhluk ciptaannya, Prometheus begitu mencintai manusia yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Setiap kali manusia mewujud dari tanah liat yang dibentuk dengan kedua tangannya, setiap kali dia meniupkan sebagian dari ruhnya sendiri ke dalam diri mereka, cintanya manusia semakin menguat. Lebih dari cinta seorang ibu pada bayinya.
Karenanya setiap berita kematian anaknya sampai ketelinganya, dia bagai merasa dirinya sendiri terbunuh dengan kejam.
Terkadang dia berharap tidak menerima tugas dari Zeus untuk memenuhi bumi dengan makhluk hidup yang bisa memberikan persembahan pada para dewa, manusia. Atau bisa secuek Epimetheus, adiknya, yang tidak terlalu peduli pada kesempurnaan makhluk ciptaannya dan menciptakan saja sembarang makhluk rendahan.
Tetapi dia tidak bisa mencegah ide dalam pikirannya terus berkembang. Benih ide yang tertanam dalam benaknya, begitu Zeus menurunkan titahnya pada kedua bersaudara ini untuk menciptakan manusia. Ide yang semakin bertumbuh kembang saat menyaksikan Ephimetheus berkali-kali gagal membentuk manusia dan malahan menciptakan berbagai binatang.
Epimetheus terus menolak nasihatnya dan hanya peduli pada satu unsur tidak penting dari makhluk yang diciptakannya.
“Makhluk ini harus bisa terbang!” Lalu dia membuat burung.
“Makhluk ini akan menjadi besar, kuat dan perkasa!” Lalu dia membuat beruang.
“Makhluk ini akan bisa membunuh orang dengan racunnya!” Lalu dia membuat ular.
Begitu terus sampai bumi penuh dengan berbagai makhluk, yang tidak satupun bisa menyembah Dewa. Mereka bahkan tidak peduli pada para dewa.
Setiap kali Prometheus memberikan nasihat, adiknya itu akan berkata acuh, “Buat saja makhlukmu sendiri! Jangan ganggu aku!” Lalu kembali asyik membentuk makhluk aneh-aneh.
Dasar bodoh!
Yah, sebetulnya tidak terlalu bodoh, sih. Bahkan bisa dibilang mereka berdua adalah Titan tercerdas diantara Titan lain yang dulu berperang dengan para Dewa memperebutkan tahta kekuasaan alam semesta. Semua Titan lain sudah dilempar Zeus kedalam Tartarus, jauh didalam perut ibu bumi, Gaia.
Kecerdasan merekalah yang membuat mereka mampu memperkirakan bahwa Zeus dan adik-adiknya akan memenangkan pertarungan sepuluh tahun dimasa lalu. Dengan berpihak pada Zeus, mereka berdua selamat dari Tartarus.
Tetapi keselamatan ini tentu tidak gratis. Mereka harus menciptakan manusia sebagai bukti kesetiaan mereka pada Zeus.
Epimetheus yang cerdas tapi sembrono dengan penuh semangat langsung menerima tugas ini. Tapi Prometheus yang serius dan berpikiran panjang sudah memperkirakan bahwa tugas ini akan jadi berat baginya. Karena dia tahu, begitu dia menciptakan manusia, dia akan mencintai mereka sepenuh jiwanya.
Dia tahu Zeus yang meledak-ledak dan egois, tidak akan menyayangi manusia sebagaimana dirinya. Tidak ada dewa manapun yang bisa mencintai manusia sebagaimana dirinya. Mereka hanya menginginkan kepatuhan dan persembahan dari manusia, untuk memperkuat kedudukan mereka sendiri. Dia mengkhawatirkan manusia bahkan sebelum mereka terbentuk.
Tetapi keinginannya untuk menciptakan manusia ternyata jauh lebih kuat daripada ketakutannya pada nasib manusia kelak. Semakin ditahannya, semakin terobsesi dia memikirkan manusia. Bagaimana bentuknya, gerak geriknya, tingkah lakunya, siang malam dia memikirkan ini.
Apalagi melihat kebodohan Epithemus yang terus menerus membentuk makhluk-makhluk rendahan itu. Dia agak berharap saat Epithemus membuat gorila, “Berilah mereka kebijaksanaan, dan buatlah mereka berjalan tegak.” Begitu usulnya pada Epithemus.
Tapi Epithemus mengabaikannya dan berkata, “Perlu lebih banyak bulu supaya tidak kedinginan, dan tangan yang lebih panjang supaya bisa kuat memanjat pohon!” Dan boom! Jadilah gorila yang tidak berguna dan hanya bisa menguak-nguak sambil memukul-mukul dada saja.
Jadi, begitulah takdirnya. Dia harus menjelmakan ide yang terus menghantuinya ini kedalam tanah liat.
Begitu tangannya menyentuh tanah liat, dia sudah tahu seperti apa makhluk yang akan diciptakannya ini.
Mereka tidak perlu tinggi besar, berbulu terlalu banyak, atau bertaring sangat tajam. Mereka akan menjadi tampan, sebagaimana rupa para dewa. Mampu berdiri tegak, tertawa, berbicara, berjalan, melompat dan menari. Tentu saja tanpa kekuatan sebagaimana para dewa, karena hanya dewa yang bisa memberikan kesaktiannya pada manusia.
Tapi dengan meniupkan rohnya sendiri, Prometheus memberkati manusia dengan kekuatan yang dimilikinya : Kecerdasan, kemampuan berkreasi, budi pekerti, rasa keindahan dan diatas segalanya dia memberkati manusia dengan cinta.
Awalnya Zeus sangat gembira saat Prometheus akhirnya mempersembahkan manusia dihadapannya. Tetapi melihat kecerdasan manusia, tidak dinyana Zeus merasa sedikit gentar. Dia bagai melihat Titan Prometheus berlipat ganda dihadapannya. Dia merasa takut manusia akan mengalahkan para dewa, sebagaimana dulu dewa mengalahkan para Titan.
Karenanya dia memerintahkan agar umur manusia dibatasi. Tidak seperti dewa yang bisa hidup abadi, manusia sehebat apapun harus mengalami kematian pada akhirnya. Tidak akan ada yang berumur begitu panjang sampai bisa menjadi lebih hebat daripada para dewa.
Selain itu, manusia hanya boleh berdiam di bumi, jauh dari Olympus kediaman para dewa. Dia menyerahkan Prometheus untuk mendidik dan mengajarkan manusia untuk memberikan persembahan pada para dewa. Hanya itu yang diinginkan Zeus dari manusia.
Prometheus dengan senang hati hidup diantara manusia yang dicintainya. Epimetheus juga hidup dibumi, karena dia senang berada di dekat kakaknya. Berdua mereka mengajari manusia berbagai hal sehingga manusia perlahan-lahan mulai membangun kehidupan mereka dibumi.
Tetapi kehidupan awal dibumi sangat berat, sangat sulit bagi manusia untuk menangkap hewan persembahan. Dan dari sedikit yang mereka dapatkan, harus menjadi hidangan para dewa. Mereka bisa mati kelaparan!
Lalu Prometheus -ya, disadarinya kini ini adalah sebuah kesalahan- mengajari manusia untuk membuat dua hidangan. Hidangan pertama adalah tumpukan sedikit tulang-tulang dan kulit hewan yang menutupi daging hewan yang terbaik dibawahnya. Hidangan kedua adalah tumpukan lemak menggiurkan, yang menutupi tumpukan besar tulang belulang dibawahnya.
Keduanya dipersembahkan pada para dewa sendiri untuk memilihnya.
Melihat tumpukan lemak, para dewa jelas langsung memilih hidangan kedua. Betapa marahnya mereka saat menyadari bahwa tidak ada apa-apa selain tulang belulang dibawah tumpukan lemak tersebut. Dari seluruh penjuru Olympus dewa datang mengadu pada Zeus.
Zeus pun sangat murka, jauh lebih murka dibandingkan perkiraan Prometheus sebelumnya. Bukan sekedar hukuman meminta korban yang lebih besar, atau menempatkan mereka di daerah yang lebih sulit, Zeus dengan tega mengambil api dari kehidupan manusia.
Tanpa api, hidup manusia sangat merana. Mereka kedinginan terutama dimalam-malam membeku di musim dingin, mereka tidak bisa memasak dan mengawetkan makanan, mereka tidak bisa membuat persenjataan, tidak bisa menjaga diri dari serbuan hewan liar.
Satu-persatu manusia pun akhirnya mati. Perlahan-lahan. Dan untuk setiap manusia yang mati, Prometheus merasa hancur dengan kepedihan yang begitu mendalam, seolah dirinya sendiri yang mati berkali-kali. Ia meratapi setiap kematian, setiap jiwa, setiap anak yang dicintainya.
Sekarang lagi-lagi Prometheus mendapatkan berita kematian anak anaknya. Ini tidak bisa terus dibiarkan.
Prometheus sudah berusaha memohon bantuan kepada para dewa yang bersimpati pada manusia. Kepada Helios dia memohon sedikit api dari matahari, namun Helios terlalu takut untuk memberikan apinya. Tidak ada satupun dewa yang berani menentang Zeus yang perkasa dan pemberang. Zeus yang bisa mengusir para Titan, yang menciptakan alam semesta, jauh kedalam bumi dengan kekuatannya.
Tidak ada jalan lain, api harus diambil paksa. Dicuri.
Dia diam-diam mendatangi gunung berapi tempat Hephaestus, pandai besi para dewa, membuat senjata. Prometheus tahu. Meski Hephaestus tidak akan berani menentang Zeus terang-terangan, tapi dia sudah cukup banyak dipermalukan oleh para dewa dimasa lalu, sehingga bersedia untuk menutup sebelah mata. Berpura-pura tertidur saat Prometheus mencuri api dari penempaannya.
Dengan kembalinya api, manusia akhirnya bisa diselamatkan. Tidak terhingga rasa terimakasih mereka pada Prometheus. Ayah mereka tercinta.
Agar Zeus tidak curiga, manusia menutupi api dari tempat-tempat terbuka. Mereka membentuk perapian, ruang-ruang penempaan senjata, agar Zeus tidak bisa melihat bahwa mereka sudah memiliki api.
Mereka memberikan persembahan terbaik pada para dewa agar mereka kenyang dan puas. Tidak memperhatikan bahwa kehidupan mereka semakin maju berkat api yang dianugerahkan Prometheus.
Tapi sepandai-pandai menutup bangkai, baunya akan tercium juga. Atau dalam kasus ini tepatnya, asapnya.
Di suatu hari yang cerah, saat Zeus sedang berkelana mengunjungi wilayah kekuasaannya, dia melihat bergulung-gulung asap hitam dari sebuah gua. Ternyata mereka sedang merayakan datangnya musim semi dengan membuat hidangan besar dengan api yang tak kalah besarnya.
Betapa murkanya Zeus!! Ini adalah penghinaan berlipat ganda. Apalagi datangnya dari seorang Titan! Ketakutannya dimasa lalu pada kemungkinan bangkitnya manusia untuk melawan para dewa, ketakutannya pada kemungkinan para Titan entah bagaimana bangkit kembali dari Tartarus, membuat kemarahannya makin menggelegak tanpa kendali.
Zeus tidak hanya ingin Prometheus dihukum atas kesalahannya. Prometheus harus dijadikan contoh bagi siapapun yang punya pikiran untuk memberontak dan melawan perintahnya.
Dia memerintahkan Hephaestus untuk membuat rantai terkuat yang pernah ada dan menggantung Prometheus di tebing terbuka dimana semua orang bisa melihatnya.
Tidak. Zeus tidak membunuh Prometheus. Kematian adalah hukuman yang terlalu mudah baginya.
Hukuman pertama adalah burung elang yang tiap hari bertugas untuk memakan hati Prometheus. Setiap siang Elang itu akan memakan hatinya, dan setiap malam hatinya akan tumbuh lagi secara sempurna. Siap untuk dimakan lagi keesokan harinya.
Jeritan kesakitan Prometheus saat hatinya disobek, menggelegar sampai keseluruh penjuru Olympus, membuat gentar hati siapapun yang mendengarnya. Membuat hancur hati para manusia yang mencintai Prometheus. Tapi betapapun mereka meratap pada Zeus, tidak sedikitpun mereka dipedulikan.
|
Wikimedia common/Prometheus by Theodore Rombouts |
Hukuman kedua adalah : Pandora
Lagi-lagi Hephestus, dewa penempa yang buruk rupa, yang ditugaskan oleh Zeus untuk tugas ini. Dia harus membuat wanita yang diciptakan berdasarkan manusia yang sudah ada. Wanita pertama ini akan menjadi hadiah bagi adik Prometheus, Epimetheus yang hidup bersama manusia di bumi.
Hephaestus menerima tugas ini dengan perasaan dingin. Dia sebetulnya cukup menyukai manusia. Merekalah yang menampung dan membesarkannya saat ia dibuang oleh Hera dari Olympus, saat dia masih bayi.
Hera membenci anaknya itu karena dia buruk rupa. Dewa-dewa lain juga selalu mengolok-olok kakinya yang pincang. Sementara manusia, yang masih murni karena cinta Prometheus, tidak terlalu memperdulikan penampilannya. Mereka menerimanya dan menyayanginya apa adanya.
Namun Hephaestus tidak berdaya. Apa yang diinginkan Zeus harus terlaksana.
Prometheus pernah berpesan pada Epimetheus untuk menolak hadiah apapun dari Zeus. Tapi Pandora yang sangat jelita dan cerdas terlalu menggoda untuk ditolak. Lagipula, berpikiran panjang memang bukan kelebihan Epimetheus. Karenanya Epimetheus memutuskan untuk menerima hadiah Zeus dan menikahi Pandora.
Saat datang ke bumi dihari pernikahannya, Pandora membawa sebuah kendi. Kendi yang kemudian dipecahkannya ditengah-tengah manusia yang hadir di pesta pernikahannya. Didalam kendi itu ternyata tersimpan berbagai malapetaka, yang kemudian menyebar keseluruh umat manusia. Kepedihan, kejahatan, kesakitan, kekejaman, menyebar kemana-mana. Manusia tidak lagi menjadi semurni saat pertama kali diciptakan oleh Prometheus.
Meski mereka tidak kehilangan hal baik yang diberikan oleh Prometheus, tapi mereka mulai belajar untuk saling membenci, saling menyakiti, dan mulai melakukan hal-hal yang buruk.
Inilah hukuman ke dua untuk Prometheus. Penderitaan yang menyebar diantara umat manusia ini semakin menambah rasa sakit yang diderita oleh Prometheus yang malang.
Tapi satu hal yang tidak diketahui Zeus. Tepat didasar kendi, Hephaestus menyimpan satu kekuatan yang bisa menyelamatkan manusia dikemudian hari :
Harapan. Harapan inilah yang hingga kini menyelamatkan umat manusia dari semua penderitaan yang mereka alami. Harapan ini jugalah yang kemudian membawa Hercules, jauh berabad-abad kemudian, datang kehadapan Prometheus dan membebaskannya.
|
WikimediaCommon/Delivering Prometheus by Nicholas Bertin (Pembebasan Prometheus) |
Gitcu deh..! Hehehe...
Komentar
Posting Komentar