|
Pixabay/Bandung |
Saat ini umat muslim sedang diserang dengan ‘Wisata Halal’. Saya katakan diserang, karena yang disalahkan karena program pemerintah yang tidak jelas ini, ya jelas umat muslim! Seolah kamilah yang memaksa-maksa orang kristen dan Hindu dan Budha untuk menyediakan fasilitas yang menurut kami halal.
Padahal yang membuat itu ‘kan pemerintah? Kami tidak menuntut.
Kalau tidak mau, ya kami pergi saja ketempat lain. Sudah beres.
Tapi gara-gara ini kami dihujat, dihujat, bahkan dikatakan manja, disumpahi. Menuntut macam-macam. Bahkan ada yang mengatakan saya radikal segala. Saya sih tidak heran. Kami umat muslim ini memang sering dimintai duit, baik duit pajak, dana haji, dan dana zakat, sambil dikatai radikal.
Dan tidak saja daerah non muslim yang menolak wisata halal ini. Daerah dengan penduduk muslim pun menolak. Mereka berpikir bahwa karena penduduk mayoritas muslim, tentu saja orang tidak perlu lagi memberikan petunjuk halal. Karena sudah pasti halal dimana-mana.
Orang akan menolak sesuatu yang mereka tidak anggap menguntungkan. Atau kerugian yang diderita akan lebih besar ketimbang keuntungannya. Dan Pemerintah tidak berhasil menunjukkan apa untungnya wisata halal.
Kesalahan terbesar sudah terjadi semenjak
perumusan konsep wisata halalnya. Setidaknya saat saya merujuk pada Konsep Pengembangan Wisata Halal dari laman Kemenpar no.8 : Bebas dari aktivitas non Halal. Ini membuat saya bertanya-tanya siapakah orang dibalik perumus konsep yang tidak masuk akal ini?
Apalagi poin no 4 : Bebas Islamophobia. Ini Indonesia!!! Asumsikan saja dari sabang sampai merauke sudah bebas Islamophobia. Kalau ada orang yang Islamophobia, anggap saja itu oknum. Untuk apa ada poin ini?? Keterlaluan!
|
Source: Kemenpar.go.id |
Orang non muslim, yang melihat tujuan pariwisata sebagai satu wilayah budaya, tentu akan menolak. Karena wilayah mereka jelas wilayah non muslim yang jelas mempunyai berbagai aktivitas, misalnya berbagai ritual penyembahan agama atau kepercayaan, juga kuliner yang tidak halal bagi muslim, misalnya mengandung daging babi atau anjing.
Jika dibebaskan dari aktivitas ini sesuai dengan poin ke 8 tadi, tentu saja mereka akan marah. “Siapa kalian menghilangkan aktivitas kami?“ Begitu katanya. Lalu kemarahan akibat kebodohan kemenpar ini dilampiaskan kepada muslim yang menginginkan wisata halal.
Padahal kenyataannya bahkan diwilayah yang penduduknya mayoritas muslim, tetap saja ada lokasi tertentu yang menyediakan hiburan malam seperti diskotik dan penjualan makanan minuman non halal.
Daerah mayoritas muslim pun ada yang menolak wisata Halal. Mereka tidak melihat apa untungnya melabeli sesuatu, yang bagi mereka sudah halal. Apalagi mengingat korupsi dinegara ini yang sungguh menakjubkan, membuat mereka berpikir Label Halal tidak lebih dari sekedar akal-akalan pemerintah untuk merampok uang mereka saat mengambil sertifikat halal.
Seharusnya Indonesia menjadi pimpinan dunia dalam urusan ‘Pariwisata Halal’. Tidak hanya untuk daerah-daerah tertentu, tetapi sebagai satu kesatuan dari sabang sampai merauke. Dan seharusnya,
Pariwisata Halal ini menjadi sarana untuk mempersatukan bangsa yang begitu bhinneka ini.
Membuat berbagai daerah saling mengenal dan saling mempromosikan. Datang ke Payakumbuh seharusnya membuat orang tertarik untuk datang ke Medan, datang ke Lombok membuat orang ingin lanjut ke Bali, dari Merauke orang ingin ke Fak fak. Dan sebaliknya. Dengan demikian akan ada keuntungan yang berlipat ganda.
Strategi Pariwisata halal yang tepat seharusnya tidak hanya menarik mereka yang menginginkan hiburan yang halal, tetapi juga wisatawan reguler, yang disamping ingin mengunjungi obyek pariwisata, juga ingin menikmati hiburan standar yang tidak halal. Dan tidak mungkin bisa menjadi tujuan pariwisata internasional jika hanya mempedulikan salah satu saja.
Karenanya perumusan Pariwisata halal harus berjalan integral dengan strategi Pariwisata reguler yang seharusnya berbeda-beda untuk tiap wilayah. Setidaknya berbeda untuk wilayah pariwisata mayoritas muslim dan mayoritas non muslim, dan bukan pukul rata saja dari sabang sampai merauke.
Dan jangan dipaksakan! Keinginan untuk menyediakan wisata halal harus tumbuh dari daerah tersebut. Tumbuh dari kesadaran bahwa memanjakan wisatawan muslim akan menguntungkan mereka baik dari segi finansial maupun budaya.
Dari sini orang bisa bekerja sama dengan Pemda lokal untuk merumuskan Pariwisata halal versi mereka masing-masing. Misalnya untuk
daerah yang mayoritas non muslim, sederhanakan saja. Jadi lebih pada pemetaan dimana Rumah makan halal dan menyediakan musholla, lokasi masjid terdekat. Mungkin bisa ditambah dengan lokasi unik yang berkaitan dengan Islam, seperti kampung-kampung muslim di Bali, kalau-kalau ada yang ingin berkunjung kesana karena penasaran.
Tidak usah terlalu ribet. Muslim pun tidak seribet itu, kami cukup tahu diri kalau datang ke daerah non muslim yang penting bisa sholat dan makan yang halal yang terjamin. Soalnya kalau tidak ketemu, nanti terpaksa kami makan popmie saja sampai pulang.
Sementara untuk pariwisata Halal versi hardcore,
di daerah mayoritas muslim barulah bisa diaplikasikan dengan wisata yang lebih sesuai dengan prinsip syariah, TANPA meninggalkan petunjuk daerah hiburan non Halal. Ini terutama untuk wisatawan non muslim, atau muslim yang tidak terlalu ketat mengikuti agamanya dan ingin berkunjung keobjek pariwisata halal, tapi tetap bisa dugem.
Jadi pemetaan itu termasuk kepada dimana hiburan halal dan non halal. Misalnya petunjuk dimana ada bar, restaurant dan kelab malam yang menyediakan makanan minuman non halal yang letaknya dekat dengan obyek pariwisata.
Untuk hiburan dan fasilitas halalnya harus lebih semangat lagi. Misalnya disamping yang reguler, disediakan juga spa dan kolam renang dimana wanita dan pria dipisah, seperti onsen dijepang jaman dulu.
Juga aktivitas perayaan yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam. Pesantren-pesantren kilat yang plus plus. Sehingga misalnya sambil anaknya masuk pesantren 3 hari, orang tuanya bisa mengulang bulan madu ke-2. Dan masih banyak lagi, tergantung kreativitas masing masing daerah.
Tapi tetap dengan prinsip ramah kepada wisatawan non muslim. Jangan mentang-mentang wisata halal lalu judes pada turis jepang yang pakai celana pendek.
Sebagai tambahan, Pariwisata halal juga seharusnya dimanfaatkan untuk menunjukkan
toleransi Islam kepada budaya minoritas daerah tersebut. Memajukan
budaya minoritas non Islam didaerah mayoritas muslim juga bisa menjadi
daya tarik wisata tersendiri. Misalnya perayaan Sin Cia yang seru
didaerah-daerah muslim. Atau ritual persembahan tertentu dari aliran
kepercayaan. Saya pun senang nonton.
Jadi bukan berarti Pariwisata halal hanya memperdulikan yang syar'i syar'i saja. Hanya mempedulikan muslim saja. Itu pikiran yang sempit.
Kenyataannya, meski wisatawan muslim lebih menyukai berwisata ketempat yang menyediakan fasilitas halal, mereka tetap saja lebih menyukai berkunjung ke daerah yang punya daya tarik wisata yang kuat, seperti Perancis dengan bangunan-bangunan klasiknya, museum-museumnya. Thailand dengan berbagai budayanya, termasuk pertandingan Thaiboxing dan Lady boysnya.
Tidak ada fasilitas halal, tidak akan menghentikan kebanyakan wisatawan muslim pergi ketempat yang menarik. Jika di Inggris tidak ada makanan halal dan tidak ketemu masjid (ada sih), mereka selalu bisa bawa pop mie dan sholat dikamar hotel.
Namun, jika persaingan daya tarik wilayah
setara, misalnya sama-sama menjual pantai yang indah, maka muslim akan memilih daerah yang lebih ramah dan bersemangat dalam memanjakan wisatawan muslimnya. Toh sama-sama pantai. Itu logika sederhana saja.
Malah sebaliknya, jika menggunakan label Wisata Halal, namun kegiatan wisatanya membosankan, orang-orangnya judes dan suka menipu wisatawan, muslim tetap saja tidak akan datang. Lebih baik belanja ke Hongkong.
Komentar
Posting Komentar