|
William-Adolphe Bouguereau (1825-1905) - Young Woman Contemplating Two Embracing Children |
Ssssss..... Suara gemerisik dedaunan yang bergeser ditanah terdengar seperti lecutan cambuk ditelinga Leto yang sedang bersembunyi didalam lubang sebuah pohon besar. Phyton mendesis mencicipi udara dengan lidahnya mencoba menebak dimana Leto berada.
Ular raksasa kiriman Hera itu berhenti sejenak didekat pohon raksasa tempatnya bersembunyi. Tubuhnya yang licin tegak seperti kobra yang terhipnotis mendengarkan seruling pawang ular. Berkeliling memandang keseluruh penjuru hutan dimana matahari bersinar diantara dedaunan yang rimbun.
Leto merasakan dadanya hampir meledak menahan panik. Hampir tersembur jeritan dari mulutnya saat dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh tangannya.
Dari cahaya yang menerobos lewat lubang bagian atas pohon dia memandang Artemis. Bayinya yang secantik rembulan, dengan bola mata hitamnya yang polos menatapnya penuh tanya. Di usianya yang baru delapan hari dia sudah mengerti bahwa sedikit pun dia tidak boleh bersuara, atau Phyton akan menghabisi mereka.
|
Giant Trees Source : Flickr/John K |
Dia mengelus wajah halus putrinya penuh kasih, hatinya dipenuhi tekad untuk melindungi harta tak ternilainya ini. Agar bisa keluar dari penderitaan ini dengan selamat. Tekadnya meredakan rasa paniknya, deburan jantungnya pun perlahan mereda.
Leto bersyukur Artemis jauh berbeda dari bayi biasa. Gabungan darah sepasang dewa tentu saja menghasilkan kekuatan yang luar biasa, tapi Artemis bahkan lebih dari itu. Bahkan dalam usia beberapa hari dia tumbuh begitu cepat menjadi seukuran balita berusia 3 tahun. Sudah bisa berjalan dan menunjukkan pada ibunya arah tercepat untuk melarikan diri dari begundal-begundal Hera, gua-gua dibalik tirai air terjun dan lubang-lubang pohon tempat bersembunyi.
Dalam usia begitu muda, Artemis sudah menunjukkan bakatnya dalam berburu. Menjebak hewan-hewan kecil, memilih tanaman yang bisa dimakan, sehingga mereka terhindar dari kelaparan.
Sssssss..... Daun-daun gemerisik lagi. Phyton mengira bahwa Leto sudah beralih ke arah lain, dan memutuskan untuk melanjutkan pengejarannya ke arah pegunungan. Meninggalkan Delos. Berlawanan dari arah yang akan ditujunya.
Leto menghembuskan nafas lega. Tapi tidak lama. Perutnya mendadak berkontraksi lagi dengan hebat, dengan telapak tangannya dia membungkam mulutnya, menahan jeritan akibat rasa sakit yang merobek perutnya. Khawatir Phyton belum cukup jauh dan masih bisa mendengarnya.
Dia berusaha mengejan, mengeluarkan bayinya. Tapi dia tahu ini sia-sia. Hera sudah memenjarakan putrinya sendiri, Eileithyia sang Dewi Penolong Kelahiran, tepat setelah Artemis lahir. Ini menyebabkan rahimnya terkunci dan bayinya tidak bisa terlahir ke bumi sementara rasa sakit akibat kontraksi membuatnya tertatih tatih melarikan diri dari Phyton.
Menatap ke langit, Leto memaki dengan sengit kepada Zeus yang terus diam melihat perlakuan Hera pada dirinya. Mahadewa yang begitu kuat, dengan petir bertalu-talu yang mampu melemparkan semua Titan kedalam Tartarus, namun takut kepada istrinya sendiri.
Ini bukanlah hal yang mengejutkan sebetulnya, reputasi Zeus yang begitu mudah jatuh cinta, menyerap semua madu dengan nafsunya, lalu melemparkan ampasnya untuk dilumat oleh kecemburuan Hera bahkan jauh legendaris ketimbang kepahlawanannya. Setidaknya begitulah diantara para wanita.
Leto tidak tahu siapa yang bisa disalahkan dalam hal ini. Dia sudah berusaha menyembunyikan kecantikannya, setiap kali Zeus datang ke Hyperborea. Leto selalu menyamarkan dirinya menjadi raksasa sederhana sesuai ajaran Ibunya. Raksasa bukanlah makhluk yang aneh diwilayah kekuasaan Titan di belahan dunia utara ini.
Ibunya, Phoebe, sudah melihat tanda-tanda bahaya yang bisa diakibatkan kecantikan putri bungsunya ini. Matanya yang lembut dengan sorot mata teduh dinaungi sepasang alis yang tebal, bibir yang mungil dan ranum, rambutnya yang panjang hitam sekelam malam, tubuhnya yang ramping dan menggiurkan dengan kulit sehalus sutera. Sekilas lirikannya bisa membuat pria tergila-gila.
Itulah kenapa dia mengajarkan putrinya cara menyamarkan diri, agar Phoebe bisa menyembunyikan dirinya dari cinta pria yang tidak dia inginkan. Karena pria yang mabuk karena cinta bisa lupa segalanya, sangat berbahaya.
Apalagi pria seperti Zeus, yang tidak mengerti kata tidak.
Tetapi hari yang malang itu datang juga. Hari itu, dia terlalu asyik bermain dengan sahabatnya Boreas, dewa Angin Utara yang menghembuskannya mengelilingi pengunungan Hyperborea.
Dia tidak menyadari kedatangan Zeus yang tertegun menatap kecantikannya. Matahari menyinari wajahnya polos dan riang, tawa merdunya menggema saat Boreas dengan sengaja menaikkannya dengan tinggi lalu menghempaskannya untuk kemudian melambungkannya lagi. Rambutnya yang panjang dan halus berkibar-kibar mengikuti gerakan tubuhnya.
Saat itulah Zeus memutuskan Leto harus menjadi miliknya. Tidak ada yang bisa menghalanginya, tidak Hera, bahkan tidak juga Leto sendiri.
Dikuasai nafsu, Zeus membawa Leto ke kediamannya di Olympus. Menjadikannya istri yang resmi sambil mengabaikan kemurkaan, juga ketakutan Hera.
Diantara saingannya, Leto tidak hanya yang tercantik, tapi juga berasal dari keturunan Titan yang sangat kuat. Meski Leto tidak sesakti Hera, tapi anak-anak yang mungkin dilahirkannya bisa jadi mengalahkan anak-anak Hera. Dan ini diam-diam sangat menakutkan bagi Hera!
Karenanya tidak ada hari tanpa Hera berusaha melemparkan Leto dari Olympus. Tapi Zeus tidak pernah meninggalkan sisi Leto. Sampai akhirnya Leto hamil. Kehamilannya yang mulai membesar meredakan hasrat Zeus, membuatnya kembali memusatkan perhatian pada Hera, yang terheran-heran tapi senang menerima perhatian suaminya ini.
Tapi kesenangannya tidak berlangsung lama. Berubah menjadi rasa murka saat menyadari bahwa Leto sudah hamil! Anak Zeus!
Dia tidak bisa membunuh Leto dengan tangannya sendiri. Itu satu-satunya batas yang tidak bisa dia langgar tanpa menimbulkan kemarahan Zeus. Tapi dia bisa mengirim Python, ular raksasa kesayangannya untuk membunuh Leto. Sementara itu, Zeus sudah puas dengan mainannya, dia tidak akan semarah itu jika Leto mendadak lenyap dari Olympus.
|
Apollo Slays Phyton-Delacroix. Source : Wikipedia |
Untunglah ada Boreas, dewa angin yang menyayangi Leto. Begitu mendengar desas desus Hera akan membunuh Leto, dia segera membawanya menjauh dari Olympus. Pergi bersembunyi di bumi.
Murkanya Hera! Terbakar kebencian, dengan suara sedingin es sarat dia mengucapkan kutukan yang menggema ke seluruh dunia : “Tidak ada tempat untuk anak Leto di bumi. Dimanapun matahari bersinar, dimanapun daratan terpancang ditubuh Bumi, disana anak Leto akan ditolak. Kematian, bukan kehidupan, yang menjadi akhir dari kehamilan Leto!”
Seluruh daratan tidak punya pilihan selain mematuhi kehendak Hera. Leto terus melayang bersama Boreas, memohon dari satu benua ke benua lain tempat untuk beristirahat. Sementara kehamilannya terus membesar. Tapi sampai saat melahirkan tiba berbulan kemudian, tidak satupun daratan yang bersedia menerimanya.
Bumi akan membelah, bergetar, terbolak balik, runtuh, setiap kali Leto berusaha mendarat. Sementara Phyton tidak kenal lelah mengejar dan mencoba membunuhnya.
Jeritan Leto membelah udara, setiap kali rahimnya berkontraksi ingin mengeluarkan bayi, membuat Hera tersenyum puas.
“Sebentar lagi dia akan menyerah, Phyton akan mendapatkannya. Kematian adalah pelajaran untuk siapapun yang berani bersaing dengan ku!”
Tetapi Leto tidak menyerah, dia akan menyelamatkan anak-anak diperutnya apapun yang terjadi!
Para dewa dewi menaruh kasihan padanya. Termasuk Rhea, ibunda Zeus dan Hera, yang menginginkan agar cucunya lahir dengan selamat. Rhea menunjukkan Delos pada Boreas. Delos adalah sebuah ikan paus yang sangat tua dan sangat besar, seukuran hutan kecil. Begitu tua sampai tanah yang menumpuk dipunggungnya membentuk daratan lengkap dengan pepohonan dan sungai-sungainya.
Delos tidak terpancang pada Bumi, karenanya dia lolos dari kutukan Hera. Dia bisa menerima Leto asal dia melahirkan pada malam hari. Boreas dengan lega menitipkan Leto, yang sudah berhari-hari meregang nyawa menahan sakitnya ingin melahirkan, pada Delos.
Malamnya Eileithyia sang Dewi Penolong Kelahiran diam-diam meninggalkan ibunya Hera, datang menolong Leto melahirkan. Artemis pun lahir dengan lancar dan selamat.
Namun tangisan Artemis yang menggema menyadarkan Hera bahwa anak Leto sedang dilahirkan. Dia langsung menculik dan merantai Eileithyia ke kediamannya di Olympus. Membuat proses kelahiran terhenti. Leto kembali meregang nyawa menahan sakit luar biasa.
Phyton pun jadi tahu lokasi Leto, dan bergegas mengejar membunuhnya keseluruh penjuru Delos. Kalau bukan karena keajaiban yang dimiliki Artemis, yang terus menerus menunjukkan berbagai tempat untuk bersembunyi, mereka tentu sudah mati sekarang.
Para serigala dan rusa pun berganti-ganti menghadang Phyton, mengalihkan perhatiannya melalui pancingan dan pertempuran. Hewan-hewan ini adalah pemuja Artemis yang setia, sudah hadir untuk melindungi mereka begitu Artemis dilahirkan.
Sampai akhirnya mereka tiba dilubang pohon raksasa ini. Hanya berselisih waktu beberapa menit dengan Phyton.
Sekali lagi perut Leto berkontraksi. Begitu hebat. Begitu menyakitkan. Tidak tahan lagi Leto menjerit sekuat tenaga. Menyumpahi kepengecutan Zeus. Menyumpahi nasibnya. Menyumpahi kecantikannya.
Hera tertawa dari Olympus. “Menyerahlah Leto,” Suaranya yang manis tapi kejam terdengar secara gaib ditelinga Leto, “Bunuhlah dirimu, dan aku akan mengampuni Artemis”
“Tidak akan pernah!!” Jerit Leto, “Ratusan tahun pun aku akan menanggung rasa sakit ini daripada membunuh anak dalam kandungan ku! Minggat kau, Hera!”
Suara tawa Hera berangsur menghilang. Dan Leto pun kembali tenggelam dalam tangis dan kesakitan.
Artemis memeluk ibunya dengan sedih. Mengelus rambutnya yang kotor dengan debu dan dedaunan yang bertebaran di tanah. Apa yang bisa dilakukannya? Bahkan dengan segala kekuatannya dia bukanlah Dewi Kelahiran. Dan kalau Dewi kelahiran yang merupakan putri Hera saja tidak berdaya, apalagi dewi-dewi kelahiran kecil? Tidak ada satupun yang berani membantunya.
Hera tidak hanya sakti, tapi dia adalah seorang dewi yang menguasai kehidupan perkawinan dari seluruh dewa-dewi di Olympus dan juga seluruh umat manusia dibumi. Dia mengetahui rahasia mereka, tahu cara mengendalikan mereka. Mengancam, menghancurkan dan membujuk mereka. Zeus takut pada kemampuan Hera dalam membujuk dewa lain untuk memberontak pada dirinya. Karena meski dia dewa yang terkuat, dia tidak cukup kuat untuk melawan semua dewa jika mereka bersatu melawannya.
Leto memutuskan mereka akan mencoba sekali lagi untuk meminta bantuan Poisedon untuk membujuk Zeus agar memerintahkan Hera melepaskan putrinya sang Dewi Kelahiran. Berjalan menuju ketepi pantai, Leto yang kelelahan menahan sakit bersandar dibawah sebuah pohon kelapa.
Mendadak seekor serigala betina menghampiri mereka. Ini tidak membuat mereka terkejut. Mereka sudah berkali-kali didatangi beberapa serigala yang memberikan persembahan kepada Artemis. Tapi serigala betina ini ternyata berbeda. Dia sedang hamil besar dan hampir melahirkan.
Artemis mengamati proses kelahiran ini dengan penuh minat, sementara Leto beristirahat.
Aneh. Setiap kali satu bayi serigala lahir, Artemis mendapatkan dirinya dirasuki kekuatan aneh, memberikan bentuk pada kekuatan dewata dalam dirinya. Potongan-potongan pengetahuan dalam proses melahirkan serigala ini diolah dalam pikirannya memberinya pengetahuan untuk membantu proses kelahiran saudara kembarnya.
Setelah bayi serigala terakhir lahir, pengetahuan dan kekuatan dalam diri Artemis terbentuk sempurna. Secara naluriah sekarang dia mengerti apa yang harus dilakukannya untuk membantu Ibunya dalam melahirkan.
Dibawah lindungan pohon kelapa dari matahari yang bersinar terik Artemis meletakkan tangan ke perut ibunya. Memusatkan pikiran dan energinya untuk membuka rahim ibunya yang mengunci. Leto terpana, gelombang rasa sakitnya berhenti!
“Mengejanlah sekali lagi ibuku yang baik,” kata Artemis, “ Sekali ini saudaraku akan lahir”
Leto pun mengejan keras. Dan lahirlah seorang putra yang tampan, berambut keemasan, yang langsung membuka matanya yang biru. Apollo, begitulah Leto menamainya.
Apollo menangis keras, meneriakkan kehadirannya keseluruh dunia, sampai terdengar ke Olympus.
Hera meraung kalah sementara diam-diam semua dewa bersorak gembira. Merayakan dalam diam kemenangan Leto.
Tetapi Hera masih belum menyerah, sekali lagi Phyton diperintahkan menyerang mereka bertiga. Namun Apollo sebagaimana Artemis bukan bayi biasa. Dengan tangannya yang kecil di tariknya ekor Phyton dan dilemparkannya jauh keseberang lautan!
Leto memeluk anak kembar ajaibnnya dengan penuh rasa cinta dan syukur. Terbayar sudah semua rasa sakitnya yang sudah dideritanya berbulan-bulan.
Tidak. Penderitaannya belum berakhir, Hera akan terus mencoba membunuh mereka bertiga. Tetapi kini kutukan sudah dihancurkan, mereka sekarang bisa mengembara keseluruh bumi dengan bebas. Mereka akan terus berjalan, sampai satu saat kelak mereka cukup kuat untuk membalas semua penderitaan ini...
Komentar
Posting Komentar