|
Pixabay/Sad |
Akhir-akhir ini kita melihat semakin banyak anak muda yang merupakan anak-anak orang kaya, yang selamanya tidak pernah merasakan hidup sebagai orang miskin dan tertindas, begitu bersemangat nimbrung, terjun, kedalam perjuangan rakyat kecil.
Mereka berteriak ganas mengecam para konglomerat serakah, pemerintah yang korup, dan semua ‘penjahat’ yang sudah menyusahkan rakyat. Mengutuk semua orang yang berkompromi. Para penjahat ini, yang mungkin adalah orang tua, atau teman-teman orang tua mereka sendiri, menjadi sasaran kemarahan mereka.
Terkadang begitu bersemangat dan beraninya mereka sampai jauh melebihi rakyat yang mereka ingin bela. Karena kebanyakan rakyat miskin biasanya memang hanya berani ngomel dibelakang sambil mengelus dada. Mereka sudah merasakan sendiri apa akibat mengerikan yang terjadi, jika berani banyak protes kepada penguasa dan pengusaha.
Anak-anak muda ini, bukannya menikmati berkah kehidupan yang nyaman dan mewah, tapi malah sibuk dengan hebohnya mengorganisir ini itu, berdemo, berjuang, bertengkar, demi membela rakyat.
Banyak alasan kenapa anak-anak muda ini jadi begini. Bisa jadi mereka betul bersimpati atau memang terusik nuraninya melihat ketidak adilan. Bisa karena sekedar ingin pamer kekuatan. Ikut-ikutan, karena saat ini sangat cool untuk jadi pemberontak. Bisa juga karena ingin memperkuat posisi bisnis atau politis mereka dalam masyarakat. Tapi bisa juga karena merasa bersalah karena terlahir kaya atau Rich Guilt.
Rich guilt atau
Wealth Guilt (rasa bersalah karena kayaraya) merupakan salah satu bentuk dari
Survivor guilt (Survivor’s syndrome) adalah suatu keadaan mental dimana seseorang merasa bersalah saat berhasil selamat dalam suatu malapetaka, sementara orang-orang yang berada bersamanya tewas. Semacam PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)
Misalnya seseorang yang selamat dari suatu kecelakaan mobil, sementara seluruh anggota keluarga atau temannya yang berkendaraan bersamanya tewas. Penderita Survivor guilt akan hidup menanggung rasa bersalah karena berhasil selamat, terus berpikir bahwa seharusnya ada sesuatu yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan keluarganya saat itu. Dia akan terobsesi mengulang-ngulang kejadian itu dalam pikirannya memikirkan skenario dimana seluruh keluarganya selamat.
Anak-anak yang dilahirkan kaya, bisa mengalami rasa bersalah semacam ini, saat terpapar dengan kemiskinan dan kesengsaraan. Tidak seperti orang tuanya atau kakek neneknya yang mungkin membangun kekayaan mereka penuh kesengsaraan dari bawah sekali, anak-anak ini ibarat lahir dengan sendok emas dimulut mereka. Langsung kaya, padahal tidak pernah bersusah payah. Rasanya tidak pantas. Salah.
Tidak semua anak orang kaya menderita Rich Guilt tentunya, hanya mereka yang sensitif dan cukup cerdas yang mengalaminya. Kebanyakan sepertinya menerima saja keberuntungannya sebagai orang kaya. Merasa berhak.
Gejala Rich Guilt bisa dimulai dari umur berapa saja. Ada yang sudah malu menjadi orang kaya semenjak masih anak-anak. Minta diturunkan jauh-jauh dari sekolah supaya teman-temannya yang hidup sederhana tidak tahu kalau dia selalu diantar dengan BMW seri terbaru oleh supirnya.
Ada yang menderita Rich Guilt karena warisan orang tuanya, yang juga merasakan rasa bersalah yang sama. Sehingga dari awal mereka terbiasa hidup sederhana, bahkan sampai terlalu ketat, supaya sama dengan orang-orang kelas menengah kebawah.
Ada yang baru mengalami Rich Guilt setelah mereka dewasa dan terekspos mengenai penderitaan didunia luar melalui media dan terutama sosial media. Dimana berita kemalangan simpang siur bahkan tanpa sensor, membuat mereka yang sensitif karena tidak pernah melihat kekejaman begitu rupa menjadi shock dan banting setir menjadi penyelamat dunia.
Bahkan anak-anak orang kaya yang dibiasakan hidup sederhana dan bekerja keras sejak kecil tetap bisa merasa bersalah. Karena mereka melihat orang-orang miskin yang bekerja jauh lebih keras mendapatkan hasil yang jauh lebih sedikit ketimbang mereka. Anak muda kaya raya ini, berkat kemewahan pendidikan dan sarana bisa bekerja dengan gaji 100 kali lebih besar dari tukang sapu jalanan yang bekerja dalam jam kerja yang sama panjangnya dengan dia.
Rasa bersalah ini semakin menguat saat mereka merasakan kebencian dan rasa iri dari orang-orang yang harus mati-matian berjuang untuk sesuap nasi. Sementara mereka hidup begitu nyaman dan berkelimpahan. Tidak ada orang yang suka dibenci.
Dengan berbagai media dan media sosial yang menggambarkan betapa jahat dan serakahnya orang-orang kaya. Berbagai demo dimana orang mengutuk para koruptor, pejabat, pengusaha yang kaya raya sementara rakyat susah dan semakin miskin. Anak-anak ini menjadi shock, menyadari bahwa mereka adalah bagian dari orang-orang yang dibenci rakyat, semata karena mereka terlahir dari keluarga kaya.
Akhirnya semua hal ini menimbulkan rasa gelisah dalam jiwa mereka, ada rasa tertekan, menjadi depresi tidak jelas, jadi murung dan menarik diri dari pergaulan. Ada rasa tidak percaya pada kebaikan orang lain, bahwa mereka hanya baik karena dirinya kaya. Rasa benci kepada golongan mereka sendiri yang seolah tidak peduli dengan berbagai penderitaan rakyat.
Kemudian segala harta benda dan kejayaan yang mereka miliki tidak lagi membuat mereka bahagia. Seolah ada rasa hampa yang harus diisi sesuatu.
Ada yang mengisinya dengan hidup hura-hura tidak menentu untuk menumpulkan rasa bersalah ini. Ada yang menjadi workaholik, bekerja mati-matian agar timbul rasa ‘pantas’ untuk mendapatkan semua fasilitas ini. Dan ada pula yang terjun kedalam masyarakat, menjadi pembela rakyat kecil. Tidak hanya sekedar jadi SJW, ada pula yang akhirnya mengabdi menjadi pendeta, biksu, terjun secara fisik ke daerah-daerah terpencil. Tapi yang paling trendi sekarang adalah terjun ke dunia politik praktis.
Ini bisa jadi positif dan juga negatif bagi rakyat.
Disatu pihak, jelas suara anak muda yang punya kekuasaan dan uang akan jauh lebih mudah didengar oleh orang-orang yang cenderung menulikan diri terhadap jeritan dan keluhan rakyat miskin. Mereka punya networking yang lebih kuat sehingga rencana mereka bisa terlaksana.
Jika mereka bisa mengidentifikasi masalah dengan tepat, merancang solusi bersama para ahli dengan benar, maka mereka akan bisa menolong rakyat dalam tempo jauh lebih singkat ketimbang jika rakyat miskin yang berjuang sendiri.
Masalahnya, apakah mereka bisa mengidentifikasi masalah dengan tepat? Ataukah mereka hanya melihat solusi masalah dari sudut pandang mereka sendiri? Ibaratnya, anak orang kaya jelas akan menderita jika digigit nyamuk sedikit saja, sehingga mereka akan histeris jika berhadapan dengan laba-laba raksasa yang mungkin merupakan mainan anak dikampung-kampung.
Mereka jadi begitu reaktif mengenai hal-hal yang sebetulnya tidak terlalu dipermasalahkan oleh rakyat. Lalu, anak orang kaya cenderung manja dan selalu mendapatkan apa yang mereka mau, tidak terbiasa pada penolakan, kemudian merajuk, mengamuk, membuat ulah. Bicara sembarangan, sementara yang menanggung resiko adalah rakyat. Apalagi hukum kita tumpul keatas dan tajam kebawah.
Belum lagi pihak-pihak yang mengerti psikologis Rich guilt yang kemudian memanfaatkan anak-anak ini secara maksimal untuk kepentingan mereka sendiri. Memberikan berbagai informasi mengerikan mengenai penderitaan orang di satu daerah, membangkitkan amarah dan emosi perjuangan anak muda tersebut. Padahal tujuan aslinya adalah untuk memukul pesaing usahanya, yang sudah lebih dahulu menguasai daerah tersebut.
Jadi saat ada konflik kepentingan, mulailah pertengkaran-pertengkaran ganas, sementara rakyat yang seharusnya mereka bela malah jadi sasaran kemarahan pihak yang terganggu oleh ‘perjuangan’ mereka. Sementara mereka sendiri nyaman dan aman dikediaman mereka masing-masing.
Saya tidak tahu bagaimana cara mengatasi semua ini, karena saya jelas bukan orang kaya :D
Yang jelas saya merasa, lebih banyak yang peduli pada rakyat, lebih baik.
Tapi mungkin akan baik sekali bagi para penderita Rich guilt pejuang rakyat untuk menyediakan waktu untuk dengan serius memperkuat latar belakang pendidikannya mengenai hal yang bersangkutan. Magang pada berbagai tipe orang yang sudah lebih dulu terjun di dunia ini selama beberapa tahun. Mungkin lebih baik jika magang di luar negri, diluar jangkauan kekayaan orang tuanya.
Bersikap mengalah dan banyak berdialog dengan pihak-pihak yang berseberangan juga suatu seni yang perlu dipelajari. Sehingga tidak memaksa-maksa suatu keyakinan sendiri sementara rakyat menjadi korbannya.
Komentar
Posting Komentar