Posting Terbaru

Mengenang Peristiwa yang Saya Alami di Desember Bertahun Lalu

Gambar
Saya pernah dibuli dengan hebat di Desember 2019, karena saat itu saya mempertanyakan kenapa setiap saya masuk mall, mendadak suaranya dikeraskan. Saat itu kebetulan natal, dan saya dianggap mengeluhkan lagu Natalnya, dan bukan suara yang dikeraskan. Dan karena saya berhijab, dinegara dimana orang berhijab seringkali dituduh sebagai intoleran oleh para Islamophobic, maka saya langsung difitnah besar besaran. Sungguh lucu di negara yang katanya penganut muslim terbesar, tapi seorang muslim tidak bisa sama sekali bersuara. Bahkan saat dilecehkan oleh operator. Kata rasis dan Islamophobic seperti Kadrun, bertebaran menghina hijab saya. Bahkan sampai sekarang banyak artikel penulis murahan, yang isinya menguliahi saya dengan penjelasan yang tidak masuk akal mengenai keluhan saya. Padahal penjelasannya sederhana saja, yang di cuitkan oleh satu netizen yang saya rephrase :  "Ada kode khusus dikalangan retail shop/mall, jika ada kejadian tertentu, seperti ada pengunjung yang diduga akan

Cara Menyeleksi Nepotisme yang Baik

Nepotism - A life insurance. Source Flickr

*Artikel ini adalah opini saya sendiri. Dan saya bukan siapa-siapa. Jika Anda punya pendapat berbeda, ya terserah saja!

Melihat AHY, Puti, Puan, Gibran, Tommy, dan sebagainya mencalonkan dan dicalonkan sebagai ini itu, saya tidak bisa tidak berpikir : Nepotism is here to stay. Selamanya kita tidak akan bisa menghindari nepotisme. Dimana seseorang memilih saudara atau teman akrab untuk suatu jabatan.

Mereka tentu saja akan membantah dan berkata, ‘Loh, kami pun warga negara Indonesia, berhak mencalonkan diri, berhak menjabat dalam pemerintahan, yang penting kami mampu toh?’

Disitu terkadang masalahnya. Disatu pihak, jika memang mereka berbakat sebagai pemimpin, maka sebagai putra putri pejabat penting, mereka akan mendapatkan pelatihan langsung dari yang terbaik. Punya koneksi-koneksi terbaik, yang akan mampu melancarkan program apapun yang mereka rencanakan. Berbeda dengan orang biasa yang nyari dukungan satu program aja harus pontang panting.

Punya kesempatan berdiskusi dengan mereka yang terbaik dibidangnya sehingga mendapat kan ilmu yang tidak mungkin bisa didapatkan anak-anak biasa. Sayang jika disia-siakan.
Namun dipihak lain, jika otak mereka seret, maka yang ada adalah, mereka jadi terbiasa dipuji dan dipuja, JAUH melebih kemampuan mereka yang sebenarnya.
Saat membuka bisnis, maka para penjilat yang berkepentingan, akan berebut membantu bisnisnya agar sukses. Sehingga mereka mengira bahwa kesuksesan mereka itu karena mereka lah yang begitu hebat dan berbakat. Sejak kecil orang-orang akan bersikap begitu hormat sehingga mereka mengira, itulah hal normal yang terjadi pada semua orang.

Jika ada yang mengkritik, serombongan orang akan membela mereka mati-matian, sehingga mereka mengira, ‘Ah, itu kan hanya haters saja!’ Saat mereka memerintah, segerombolan tangan-tangan tidak kelihatan akan memaksa orang menurut, ketimbang mereka sendiri yang putar otak dan mengatur siasat agar orang mau ikut.

Saat ada kekacauan, mereka akan terbiasa dengan laporan bahwa semua baik-baik saja. Sehingga mereka tidak terbiasa mengecek sendiri saat ada masalah.

Jadi saat mereka tidak mampu, maka resiko negara atau perusahaan dipimpin seorang anak yang selalu diistimewakan tapi tidak merasa, akan jadi sangat besar. Ini karena mereka tidak teruji dalam sistem. Tidak mengalami awal-awal karir politis yang sengsara. (Mereka mungkin mengira sengsara, karena nebeng kepada kesengsaraan orang tua mereka, tapi sengsara secara mandiri itu ya beda).

Nah, bagaimana menguji kemampuan mereka kalau sudah begitu? Karena tentu sayang jika seorang yang berbakat, yang sudah mendapatkan pelatihan terbaik, tersia-siakan dengan alasan Nepotisme. Mereka tentu tidak akan bisa mengikuti seleksi normal, karena pasti lewat kekuatan orang tuanya akan lulus. Kalau pun gagal, mereka tidak akan hancur-hancuran, sebagai mana banyak caleg dan calon kepala daerah.

Berikut adalah beberapa cara yang mungkin bisa meredam kerugian akan Nepotisme :

Kualifikasi
Kita bisa cek mulai dari latar belakang pendidikan dan pengalaman berorganisasi. Apakah mereka sekolah sampai selesai? Apakah disekolah mereka diistimewakan? Pernahkan mereka menjadi aktivis dan memperjuangkan kebutuhan rakyat?

Apakah punya hubungan yang baik dengan kalangan militer? Karena pemimpin kita mau sebagus apa, kalau tidak bisa mengendalikan militer, tidak ada gunanya.

Juga pengalaman dengan birokrasi. Birokrasi Indonesia adalah suatu alam liar yang kejam dan penuh jebakan. Apa kualifikasi dia yang membuktikan bahwa dia tidak akan ditipu oleh para birokrat-birokrat gelap yang licik dan korup?

Demikian juga bisa dicek prestasi-prestasi lain yang bisa dikaitkan dengan kualifikasi sebagai pemimpin atau wakil rakyat.

Kemampuan mensosialisasikan idenya

Saat ini kita punya banyak masalah dengan pemerintahan sekarang, karena sang pemimpin memiliki kesulitan untuk meyakinkan rakyat akan visi misinya, yang sebetulnya tidak jelek-jelek amat. Kemenangannya tidak lebih dari kemenangan gimmick. Terutama karena orang tidak mau memilih yang satunya, bukan karena dia adalah pimpinan yang meyakinkan.

Untuk menyeleksi apakah benar seseorang itu pantas jadi pemimpin, maka terjunkanlah dia dalam kancah-kancah debat dan ceramah. Suruhlah dia menulis berbagai artikel untuk menuangkan pendapatnya. Bukan sekedar kampanye, tapi lebih pada kepedulian pada masalah terkini.

Dengan demikian orang bisa melihat karakternya yang sebenarnya, dia pun bisa mempelajari bagaimana rakyat akan bereaksi pada pendapatnya. Belajar cara menerima masukan yang bukan jilatan dipantat. Dan semakin lama, rakyat akan semakin kritis dan tukang membantah. Jadi tidak mampu mensosialisasikan ide, bukan lagi hal yang bisa diterima sebagaimana jaman Orba dulu.

Misalnya untuk AHY atau Gibran, terjunkanlah dia dalam debat terbuka di kampus-kampus. Mengenai masalah Papua, misalnya. Atau mengenai masalah Revisi KPK. Sampai sekarang tidak terdengar ada suara secuil pun dari orang-orang ini. Apakah karena mereka tidak tahu? Atau tidak peduli?

Kemampuan mengenal rakyatnya. 

Soekarno, terlepas dari banyak kelemahannya, adalah pemimpin yang bisa menyatukan banyak etnis yang berbeda dalam NKRI, terutama karena pemahamannya pada sejarah dan antropologis dari rakyatnya. Ini karena dia selain banyak membaca buku sejarah, punya kemampuan multi bahasa, juga hidup berpindah-pindah, berkat hukuman belanda, dari satu propinsi ke propinsi lain, dari satu pulau ke pulau lain.

Dengan demikian dia tidak melakukan hal standar yang biasa dilakukan oleh orang Jawa yang tidak pernah keluar dari jawa, yaitu secara sembarangan memaksakan pendapat dan tradisi mereka pada orang yang jauh berbeda dari mereka. Tidak histeris teriak-teriak radikal, khilafah, separatis, setidaknya tidak diawal pemerintahannya. Melainkan memahami, dan mencoba melakukan pendekatan melalui kearifan lokal.

Gus Dur adalah satu contoh Nepotisme yang lumayan berhasil. Beliau teruji kemampuan mengenal rakyatnya. Jelas kita tahu dia hobi membaca sehingga pengetahuannya luas dalam berbagai hal. Juga punya pergaulan yang luas, hidup yang berpindah-pindah bahkan sampai ke timur tengah dan kanada, pernah susah cari makan sebagai jurnalis yang kesana sini, semua membuat dia punya pemahaman luas dan mendalam mengenai rakyatnya.

Nah, untuk Nepotisme generasi berikutnya. Sejauh mana mereka mengenal rakyatnya? Apakah mereka paham akan sejarah? Tradisi? Jangan ujug-ujug diangkat jadi gubernur papua, padahal tinggalnya selalu dijawa dan bahkan tidak tahu nama-nama wilayah adat di Papua.

Siapa orang yang mereka pernah bantu?
Pemimpin yang baik bukan hanya dibantu orang, tetapi juga membantu orang. Mensukseskan orang lain dalam suatu kompetisi. Bisa dalam bidang bisnis maupun ekonomi. Kebanyakan orang sibuk menginjak-injak orang lain supaya dirinya sukses. Tapi bukan itu yang kita perlukan.

Jadi siapa orang yang pernah menjadi sukses berkat calon pemimpin ini? Ini justru sulit, karena dalam Nepotisme, orang tinggal minta tolong pada pembantu-pembantu orang tuanya untuk melakukan ini-itu. Atau mengucurkan sejumlah uang tanpa strategi tertentu.

Jika dia bisa mensukseskan seseorang atau sekelompok orang dengan upayanya sendiri, maka kemungkinan besar dia akan tahu cara mensukseskan rakyatnya.

Apakah mereka cacat hukum?
Satu hal yang paling menyebalkan dari nepotisme adalah mereka seakan berada diatas hukum. Apalagi hukum di Indonesia itu tajam kebawah dan tumpul keatas. Nah, ini bisa dicek dengan jelas.

Mulai dari hal-hal sepele seperti apakah mereka pernah lolos tilang? Atau punya perusahaan yang merusak alam tapi tidak dihukum? Pernah jadi tertuduh tapi bebas lepas melenggang kangkung?

--

Jadi itulah beberapa cara sederhana yang bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu calon pemimpin yang bisa maju karena Nepotisme benar-benar berkualitas untuk dijadikan pimpinan atau bisa disingkirkan saja dari awal.

Kenyataannya, pemilu, pilkada, pileg kita masih tidak lebih dari sekedar kontes popularitas. Apalagi dengan adanya pembatasan terhadap calon-calon independen seperti dengan adanya Presidential Treshold 20% karya MK yang sungguh menyusahkan rakyat itu.

Tapi dengan kekacauan yang kita lihat akhir-akhir ini, berkat anggota legislatif dan pemerintahan yang tidak kompeten, ada harapan dimasa depan rakyat akan semakin bersikap kritis terhadap siapa yang akan mereka pilih sebagai wakil mereka, sebagai pimpinan mereka.

Kita tidak punya pilihan lain selain bersikap optimis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manga Bela Diri Jadul Favorit

Yakuza, Organisasi Kriminal yang Menjaga Etika

Seri 12 Dewa Olympus 6 : Apollo, Dewa Tampan Serba Bisa