Posting Terbaru

Mengenang Peristiwa yang Saya Alami di Desember Bertahun Lalu

Gambar
Saya pernah dibuli dengan hebat di Desember 2019, karena saat itu saya mempertanyakan kenapa setiap saya masuk mall, mendadak suaranya dikeraskan. Saat itu kebetulan natal, dan saya dianggap mengeluhkan lagu Natalnya, dan bukan suara yang dikeraskan. Dan karena saya berhijab, dinegara dimana orang berhijab seringkali dituduh sebagai intoleran oleh para Islamophobic, maka saya langsung difitnah besar besaran. Sungguh lucu di negara yang katanya penganut muslim terbesar, tapi seorang muslim tidak bisa sama sekali bersuara. Bahkan saat dilecehkan oleh operator. Kata rasis dan Islamophobic seperti Kadrun, bertebaran menghina hijab saya. Bahkan sampai sekarang banyak artikel penulis murahan, yang isinya menguliahi saya dengan penjelasan yang tidak masuk akal mengenai keluhan saya. Padahal penjelasannya sederhana saja, yang di cuitkan oleh satu netizen yang saya rephrase :  "Ada kode khusus dikalangan retail shop/mall, jika ada kejadian tertentu, seperti ada pengunjung yang diduga akan

Tidak Semua Orang Papua Sama



Papuan dance from Yapen. Source : Wikipedia
*Note : Saya bukan pakar apa-apa, hanya berharap Papua dan Seluruh rakyat Indonesia damai sejahtera. Semua info didapatkan hanya dari meng-google saja. 

Saya baru saja tersadar betapa salahnya selama ini, menganggap bahwa semua orang papua itu sama saja. Padahal saya melihat sendiri bahkan dari fisiknya mereka berbeda beda, ada yang kelihatan seperti campuran dengan arab, ada yang lebih terang kulitnya, ada yang mirip orang NTT dan ada yang mirip orang Papua New Guinea.

Saya merasa bodoh sekali selama ini berpikiran demikian. Padahal jelas-jelas Papua itu begitu besar, lima kali pulau Jawa! Pastilah setiap suku akan berkembang secara spesifik dan dengan isolasi alam, bisa jadi mereka punya karakteristik yang jauh berbeda.

Bandingkan dengan keadaan di pulau Jawa. Orang Jawa dibandingkan orang Madura saja sudah sangat berbeda. Dan coba saja kalau berani menyama-nyamakan orang Jawa dengan Sunda! Belum lagi dengan Betawi. Mereka punya budaya, karakteristik dan bahkan pendapat yang berbeda dalam banyak hal. Tidak mungkin menyamaratakan mereka semua dengan kata : Pribumi.

Kemarin (10-9-2019) saat melihat siaran TV One yang membahas Pertemuan Jokowi dengan para kepala suku Papua, seorang narasumber tokoh perempuan Papua, Tina Kogoya menyatakan bahwa yang ditemui oleh Presiden Jokowi kemarin baru dari satu wilayah adat saja, yaitu Tabi (atau yang lebih dikenal sebagai Mamta) sementara dari wilayah adat lain tidak termasuk didalamnya. Padahal di Papua dan Papua barat total ada TUJUH wilayah adat. Ini bisa jadi masalah jika mereka kemudian merasa tersinggung karena merasa tidak diperhitungkan dalam penentuan nasib mereka.

Sebagai perbandingan, luas satu wilayah adat di Papua itu kurang lebih sebesar propinsi Jawa Barat, dengan kekayaan alam yang mungkin setara atau malah berlipat ganda. Jadi meski jumlah penduduknya hanya sekitar 1/100 dari Jawa Barat, tapi mereka bisa jadi sangat penting sekali terutama bagi konglomerat Internasional yang gatal ingin mengeruk kekayaan bumi disana.

Di Papua terdapat 5 wilayah adat dan Papua Barat ada 2 wilayah adat yang membawahi sampai puluhan suku yang berbeda. Ada suku yang besar yang membawahi sampai puluhan ribu orang ada juga suku-suku kecil dengan ratusan orang saja. Total mencapai sekitar 470 suku yang keseluruhan berjumlah sekitar 2.5 juta jiwa.

Source : Bappenas


Jadi tidak terlalu mengejutkan jika banyak orang mengaku sebagai kepala suku di Papua. Dan jelas mereka tidak mengenal satu sama lain. Perlu diperhatikan bahwa kekuatan suku-suku ini tidak harus tergantung pada jumlah orang, tapi bisa juga dengan penguasaan ilmu dan teknologi, informasi, ekonomi dan sebagainya

Kekacauan informasi akibat klaim terhadap suku ini dan itu, sangat mudah terjadi jika tidak ada yang peduli pada informasi yang jelas mengenai suku masing masing. Misalnya, bisa saja media tertentu mengklaim 10 suku menyatakan ingin merdeka dari Indonesia. Atau merasa terjajah dan tersiksa bergabung dengan NKRI. Sekalipun mungkin anggota sukunya hanya ratusan orang. Lalu yang membaca mengira bahwa, betul lah itu yang diinginkan SELURUH rakyat Papua.

Orang yang berkunjung ke Papua pun bisa jadi salah sangka. Misalnya mereka yang berkunjung ke daerah Jayapura saja, yang berada di wilayah adat Tabi/Mamta, akan punya pengalaman berbeda dibandingkan mereka yang masuk ke pedalaman wilayah adat Mepago, dimana Freeport berada. Bagaikan orang yang masuk ke desa tertinggal di Banten, lalu memutuskan bahwa seluruh jawa semiskin dan semenderita desa itu.
Berita mengenai ketidakadilan -yang seolah diderita SELURUH Papua- akan bisa menjadi heboh, jika beberapa ratus orang ini kemudian mengadakan demo yang kemudian diviralkan sehingga seolah tidak pernah ada kebaikan dari pemerintah NKRI terhadap rakyat papua. Toh 2000 orang pendemo pun sudah kelihatan sangat besar.
Belum lagi para tukang meminta sumbangan, koruptor dan pemeras, yang berkat informasi yang disebarkan oleh para konglomerat yang mensponsori berbagai gerakan ‘Pembebasan Papua’ berhasil menggalang dukungan internasional. Dan setiap saat mengancam siapapun yang dirasa bisa mengganggu profit mereka, tidak peduli jika nyawa rakyat Papua menjadi taruhannya.

Atau bisa juga sebaliknya. Bisa saja beberapa puluh ribu orang yang menguasai komunikasi dengan Jakarta melaporkan bahwa semua baik-baik saja, tapi ternyata ratusan ribu orang menderita. Tidak mungkin ‘kan Presiden menyambangi mereka semua satu-satu. Jika para pejabat Papua yang mengelilingi Presiden selalu tersenyum dan siap sedia setiap saat untuk mengatakan ‘Papua mencintai Presiden!‘ Tidak ada alasan untuk tidak mempercayai mereka.

Dan mungkin sekali mereka memang bersungguh-sungguh berterima kasih pada pemerintah NKRI karena memang suku dan wilayah adat mereka terkena dampak positif dari pembangunan. Dan mereka bisa jadi sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal-hal yang terjadi di pedalaman.

Sekarang bayangkan, jika semua kekacauan ini terjadi, padahal pemerintah sudah berusaha keras menjaga stabilitas di daerah Papua. Bayangkan saat Papua ‘Merdeka’. Mendadak 470 suku ini akan berusaha keras bersaing untuk mendapatkan profit terbesar bagi suku mereka. Mungkinkah mereka dengan rela menjadikan Lukas Enembe atau Lenis Kogoya menjadi Presiden Papua lalu menguasai kekayaan alam Papua ataukah mereka akan coba-coba memajukan suku mereka sendiri dulu?
Apalagi jika dengan dingin para konglomerat internasional lalu mensuplai masing-masing suku dengan senjata, sementara mereka mendulang hasil tambang dari Papua.
Tidak kah mereka kemudian akan berbunuh-bunuhan? Kita bisa melihat negara-negara Afrika yang kaya dengan sumber daya alam, berlarut larut terlibat dalam perang sipil setelah merdeka. Bahkan sampai sekarang. Atau Papua New Guinea (PNG) negara tetangga yang terlibat perang saudara selama lebih dari 20 tahun, hingga kini masih miskin dengan tingkat indeks kejahatan yang no.2 tertinggi di dunia.

Dilain pihak, jika pemerintah hanya fokus pada suku-suku tertentu atau malah wilayah adat tertentu dan mengabaikan yang lainnya, bagaimana mereka dapat menyampaikan keluh-kesah mereka? Apalagi setiap kali menuntut hak mereka, mereka malah dituduh radikal. Atau dibungkam sekalian. Saat ini pun mereka merasa pemerintah hanya mau mendengar saat keadaan sudah parah, saat mereka menuntut untuk merdeka. BTW hal yang sama terjadi pada mereka yang dituduh 'Islam radikal'.

Masalahnya, dimana pun didunia, akan selalu ada daerah-daerah termiskin dan tertinggal. Bahkan di Amerika, negara terkaya didunia. Dan tidak mungkin setiap kali ini terjadi, solusi yang diharapkan hanyalah minta merdeka, yang mungkin malah akan membawa masalah yang lebih besar lagi bagi mereka. Dan menjadi preseden buruk bagi provinsi lainnya.

*Note : Saya bukan pakar apa-apa, hanya berharap Papua dan Seluruh rakyat Indonesia damai sejahtera. Semua info didapatkan hanya dari meng-google saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manga Bela Diri Jadul Favorit

Yakuza, Organisasi Kriminal yang Menjaga Etika

Seri 12 Dewa Olympus 6 : Apollo, Dewa Tampan Serba Bisa